Ketiga, Fanatisme terbatas. Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme yang tumpul, yang menganggap bahwa kelompok Anda yang paling benar, yang terbaik, dan kelompok lain yang perlu diperangi.Â
Gejala fanatisme picik yang memakan banyak korban ini marak di masyarakat. Gejala bondo (perbudakan tanpa ampun) di kalangan penggemar sepak bola tampaknya menjadi gejala di Indonesia.Â
Cinta untuk klub sepak bola lokal itu baik, tetapi cinta yang berlebihan untuk kelompok dan permusuhan membabi buta terhadap kelompok lain tidak sehat. Lebih jauh lagi, bila fanatisme ini dicampur dengan isu-isu keagamaan (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan menimbulkan gejala bubarnya bangsa.Â
Di sini pendidikan multikultural berperan penting sebagai sarana mereduksi fanatisme yang berpikiran sempit. Karena dalam pendidikan multikultural terdapat pelajaran untuk menghormati seseorang atau kelompok lain, meskipun berbeda suku, agama, selera atau golongan.
Dan masih banyak problem yang muncul dari kemasyarakatan pendidikan multicultural, sekian dari saya terima kasih, sampai jumpa di artikel selanjutnya. Salam dari saya Mahasiswi prodi Administrasi Pendidikan FKIP Universitas Jambi. Mendalo, Juni 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H