Aku duduk di atas kursi kayu berwarna cokelat tua, terukir kelopak melati pada setiap sudutnya. Ujung kelopaknya runcing, kemerahan dan semakin pekat dari hari ke hari. Tidak ada yang mempertanyakan itu. Lagi pula, aku selalu sendiri. Kecuali malam yang diam-diam bertamu menawarkan sepi.
Aku tidak semenyedihkan itu. Aku baik-baik saja. Mencoba baik-baik saja --setidaknya sampai aku bisa meyakinkan diriku sendiri.
Kulihat rembulan kemerahan dari sela-sela jemariku. Dan anjing-anjing itu tak menggonggong lagi. Mereka telah kurang ajar. Menggigitku tiga kali. Kusobek saja mulut anjing-anjing itu sampai mati.
Aku kembali duduk di atas kursi kayu berwarna cokelat tua. Membiarkan kelopak melati yang terukir pada setiap sudutnya menyesap sisa darah. Agar pedihku terhisap.
Berlama-lama aku menatap sekumpulan embun, sebelum tiap tetesnya bersembunyi di sela-sela jendela. Kau tahu? Setetes kenang tentangmu meramu tuba dalam darahku. Mencintai kamu, meracuni aku.
Dan aku benci suara malam, membuat isi kepalaku semakin berisik. Rasanya ingin kupecahkan, kucabut otak, memotongnya tipis-tipis, memasukkannya dalam kuali, merebusnya bersama darah anjing-anjing keparat itu, kemudian memakan ingatan-ingatan tentang kamu.
"Kau melakukannya lagi?"
Tatap resah adikku melihat tumpukan anjing yang sebagian membusuk. Sisanya tak utuh lagi. Kucabik-cabik.
"Sampai cukup melunasi luka-luka," jawabku.
Sayangnya, luka-luka itu terus berkecambah. Tak habis-habis. Sampai tak sanggup lagi menangis. Ceruk di sudut mataku mengering seiring kepergianmu yang diam-diam.