Hampir setiap malam tangis itu terdengar. Seperti kepedihan yang mengapung di udara berhari-hari, menyelinap melalui jendela rumah-rumah, lalu berdiam di depan gendang telinga manusia-manusia. Tangis itu serupa nyanyian perpisahan sepasang kekasih yang terkadang membuat pendengarnya menangis seharian.
Lembayung lelah menangis, begitu juga dengan perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya melaut dua minggu ini. Lembayung belum bersuami. Cintanya sudah habis ia bagi pada perempuan-perempuan itu.
Meskipun air mata Lembayung mengering dan perempuan-perempuan itu telah merelakan suaminya ditelan ombak, tangis yang memilukan masih terdengar setiap malam.
“Siapa yang masih menangis?” tanya Lembayung pada hatinya sendiri. Lembayung sempat menduga jika hatinya masih menangis.
Tak tahan dengan suara itu, Lembayung memutuskan untuk mencarinya di luar rumah –siapa tahu ada kesedihan yang masih terperangkap dalam jaring ikan.
Sia-sia. Yang ada, ombak berkejaran yang deburnya mirip sorak kematian, menangkap kaki Lembayung, menyeretnya ke lautan. Untung! Lembayung tersangkut karang.
Dengan tubuh yang basah dan punggung berdarah-darah, Lembayung berlari ke rumah. Membiarkan lukanya menganga, berharap mampu menghisap kesedihan yang ditangiskan berhari-hari.
“Kenapa tangismu tak habis-habis?” Lembayung menanyakan gelisahnya pada embun yang membeku di ujung daun.
Setelah ditungguinya selama berjam-jam, embun itu mencair. Tetesnya serupa air mata pada lukisan perempuan yang menangis di balai desa.
Sebulan lalu, Pak Lurah menerima lukisan perempuan yang menangis, meletakkannya di depan ruang kerjanya. Pak Lurah memutuskan untuk tidak mengunci gedung itu. Agar warga dengan leluasa mengunjungi lukisan perempuan yang menangis untuk sekedar menyeka air mata atau malah bertangis-tangisan.
Kali ini Lembayung berhenti menduga. Ia yakin bahwa suara itu berasal dari lukisan perempuan yang menangis.