"Akar-akar bunga ini menghisap tubuh Ibu. Aku ingin membuat Ibu tetap hidup dalam diriku."
Sinar purnama membuat wajahnya bercahaya. Sangat menarik. Dan hatiku berkejaran dengan birahi, sekalipun harus kutahan setengah mati untuk tidak kurang ajar.
"Sulitkah bagimu untuk melupakan?"
"Sepertinya begitu. Aku selalu melihatnya kala kupejamkan mata dan itu membuatku tiba-tiba rindu. Kau tahu? Tiba-tiba pula darahku mendidih. Amarahku pecah setiap kuingat desah perempuan keparat itu."
"Kau harus rela."
"Rela katamu? Membiarkannya bersama perempuan yang tak tahu malu itu?"
"Bukankah lebih baik begitu?"
"Tidak! Hal itu tidak pernah baik bagiku. Aku melihat mereka melakukannya lagi dan lagi. Mereka ada di mana-mana. Di balik semak-semak. Di sampingmu. Di ujung kaki. Di telapak tangan. Bahkan berputar-putar di atas kepalaku sendiri. Bayang itu seolah telah beranak pinak tak keruan. Untuk memadamkan getir yang berulang kali singgah, aku mengeluarkan bola mata dan mengunyahnya seperti ini..."
Sulit kupercaya, namun nyata adanya.
Jemari lentik itu meruncing, menghitam, mengeluarkan bau busuk. Meraba wajah yang pipinya mulai meleleh. Memasukkan telunjuk ke salah satu sudut mata. Semakin dalam hingga darah membanjiri kelopaknya. Menariknya perlahan.
Kutelan rasa takut berkali-kali. Hingga tak kudapati lagi liur dalam pangkal lidahku.