Perempuan itu memejamkan mata, menyingkirkan jejak tangis dari kedua pipinya.
Tanpa kusadari, telah kulabuhkan pelarianku pada seorang perempuan yang hatinya sedang diacak-acak masa lalu.
"Beranjak gelap, aku akan mengantarmu pulang."
 "Sebelum benar-benar gulita dan para tetangga terlelap, aku enggan pulang. Mulut mereka brengsek. Setiap hari hanya bergunjing tentang aku dan Ibu. Tentang kutukan bahwa kami tidak akan bahagia. Aku ingin sekali melipat bahkan mengoyak mulutnya, agar mereka tahu rasa sakit dari fitnah yang tak habis-habis."
Tubuhnya meringkuk, tangannya meremas-remas tanah. "Ocehan-ocehan sampah itu membuat Ibu memilih mengakhiri hidup. Aku melihatnya sendiri. Bagaimana tubuh Ibu terayun pada langit-langit kamar dengan seutas tali. Dan kau tahu? Ssstt... Ibu ada di sini, tertidur pulas sekali."
Perempuan itu menabur tanah yang sedari tadi ia genggam. Meratakan, membelai, menciuminya berkali-kali.
Jika aku yang disambangi duka, mungkin kulakukan hal serupa. Mengunjungi Ibu yang tubuhnya dimakan tanah, sehari, dua hari bahkan berhari-hari.
"Sebab apa yang mengantarmu ke tempat ini?"
Selidik perempuan itu sembari bangkit mengunyah kuncup melati.
"Sesungguhnya aku tersesat."
Perempuan itu tersenyum. Lengkungnya mirip bulan sabit yang selama ini hanya kujumpai di angkasa. Bibirnya tipis, berwarna merah muda seperti buah jambu yang hampir masak.