Dengan matanya yang cokelat, dipadu rambut lurus sebahu, perempuan itu tampak ayu. Berjalan menyusur rerumputan, bertelanjang kaki. Mondar-mandir di jajaran melati. Membungkuk, membuat rambutnya menutup sebagian paras jelitanya. Memungut sesuatu, namun tak kudapati apapun itu. Tiba-tiba matanya sendu, tersedu.
Baru kali ini kusaksikan perempuan yang menyia-nyiakan air matanya --selain Ibu. Seharusnya dengan rupa semenawan itu, ia bisa dengan mudah bahagia. Tak perlu lagi memulangkan air dari kelopak mata yang indah, kembali ke tanah.
"Apa yang sedang kau cari?"
Tak terlontar jawab. Mungkin lebah-lebah sedang berebut tinggal dalam lobang telinganya atau bibirnya dicumbu malaikat saat aku mendekat.
"Halo?"
Masih bisu. Bisa jadi, kata-katanya tertinggal di rumah hingga tak mampu membalas sapa.
Haruskah kugunakan bahasa isyarat agar ia mengerti? Atau kudekap diam-diam, mendudukkannya ke atas pangkuanku lalu berbicara melalui matanya yang indah itu?
Perempuan itu bersimpuh, melanjutkan tangis yang rupanya belum habis. Hatiku menjadi iba, entah karena apa. Berulang kali aku menghirup kepedihan yang menguar dari dalam dadanya.
"Aku telah gagal merawat kenangan," lirihnya. "Dia pergi dengan menyisakan serpihan rindu di sini. Berkali-kali aku memungutnya, berkali-kali pula kurasakan luka yang sama. Di tempat ini, ia mencumbuku untuk pertama kali, memeluk dengan erat sebelum seseorang merenggutnya dariku."
Perempuan itu membaringkan tubuhnya di atas rerumputan, memandang senja dengan matanya yang basah. Sementara aku duduk bersandar pada batang pohon yang akarnya lebat menjuntai mirip helaian rambut tak tersisir.
"Hampir mekar," lentik jemarinya memetik kuncup melati. "Mungil, putih dan wangi. Namun jika kau menghirupnya terlalu lama, kau akan berjumpa dengan kenyataan yang tak pernah kau harap. Seperti ketika aku melihatnya memagut bibir perempuan itu. Juga tentang bagaimana ia melepas satu per satu kancing yang terkait pada blouse bermotif bunga-bunga."