Aku mendengar suara. Seseorang menggali tanah. Mulanya samar-sama, lama-lama memekakkan telinga. Lama-lamanya lagi, kamarku jadi gaduh. Seperti pasar malam, bianglala berputar, ikan-ikan mainan menganga mulutnya minta dipancing, mesin kembang gula bergerak-gerak, komedi putar benyanyi, tapi sepi. Hanya terdengar seseorang menggali tanah.
Tak mengerti. Sungguh tak bisa kumengerti. Berulang kali kukatakan pada diriku sendiri, ini bukan pasar malam. Hanya sebuah kamar berukuran empat kali empat yang diselimuti malam. Tidak ada bianglala, ikan-ikan mainan, kembang gula ataupun komedi putar. Apalagi penggali kubur. Rasa takut memang kerap mengada-ada. Mengadakan yang tidak ada.
Kuputuskan untuk membuka mata. Gelap. Bahkan lebih gelap dari malam itu sendiri. Tak ada batas antara menutup dan membuka mata. Sama saja. Tak terlihat apa-apa.
Aku kembali tidur, lebih tepatnya mencoba tidur. Suara menggali kembali. Kini seperti derap kuda. Semakin dekat. Lagi-lagi aku dihajar rasa takut. Kali ini takut yang setakut-takutnya. Kubuka mata lebar-lebar. Berusaha menangkap gelap dan melemparnya keluar jendela. Tapi di sini tak ada jendela. Tak ada pintu.
Aku seperti melayang-layang dalam lorong waktu. Terperangkap gelap. Terperangkap suara-suara menggali. Terperangkap rasa takut. Terperangkap kenyataan yang sulit dikatakan nyata.
Suara itu mendekat. Aku berlari. Kali ini aku benar-benar terancam. Bisa saja tubuhku yang akan tergali. Entah apa yang dicari.
Sial!
Aku tertangkap. Gelap menawan kakiku. Suara-suara itu mengelilingiku. Aku mencakar-cakar. Merobek suara-suara yang tak pernah kuinginkan.
Aku masih mencakar-cakar, hingga lenyap sudah suara seseorang menggali tanah. Dan aku lelah.
***
Perempuan itu menyelinap dalam gelap. Menggali tanah. Menanam jasad lelaki yang penuh luka cakar pada kedua telinganya hingga merobek urat-urat leher. Kemudian perempuan itu berbaring di atasnya, memejamkan mata dan ia mendengar suara seseorang menggali tanah.