Ini Minggu kedua aku membantu Sarmin berjualan kopi di warung miliknya. Upahku memang tak seberapa, paling tidak bisa menambah uang saku sebelum kembali ke kampung. Orang-orang menyebutnya mudik, tapi bagiku, pulang adalah sesuatu yang memalukan. Aku belum juga menjadi bos seperti yang Emak mau.
Sarmin tak mengizinkanku meracik kopi. Meski bubuk kopinya murahan, namun di tangan Sarmin kopi-kopi itu mampu membuat banyak lidah ketagihan. Bayangkan, segelas kopi miliknya dihargai tiga ribu rupiah, sedangkan pembelinya dalam sehari hampir seratus orang. Makanya dia tak menolak ketika aku mengajukan diri sebagai pencuci gelas di warungnya. Lokasinya yang berada di depan terminal memang sangat menguntungkan.
Yang membuatku heran bukanlah berapa banyak uang yang mampu Sarmin kantongi, namun seorang wanita tua berkebaya biru yang sedari pagi duduk di seberang sana. Beberapa kali wanita tua itu mengusap dahinya, sepertinya berkeringat. Aku juga tak melihatnya makan atau minum, barangkali puasa.
Selama aku bekerja di warung Sarmin, selama itu pula aku melihat wanita tua itu. Aku pikir ia sedang berdagang, namun tak satu pun barang ia pasarkan. Atau mungkin sedang menunggu bus yang akan membawanya pulang dari kota, tapi nyatanya masih kembali juga di tempat itu keesokan harinya. Aku mencegah pikiranku yang mengatai dia gila, yang akhirnya kuputuskan bertanya pada Sarmin.
“Min, siapa wanita tua di seberang sana?”
“Yang mana?”
“Itu, yang duduk di bawah pohon.”
“Berbaju biru?”
“Betul.”
“Mbok Surti.”
“Sehat?”