“Untuk apa kau datang kemari?”
Ia memasuki kamarku seperti pencuri.
“Masih belum puas dengan apa yang kau lakukan padaku semalam?”
Pria itu membuatku tergila-gila. Dulu.
“Kau membuatku berdosa!”
Selangkah lagi ia akan berhasil menyentuhku. Dan benar!
“Pelankan suaramu, sayang.”
Menjijikkan. Sangat menjijikkan. Jika mampu, sudah kumuntahkan sesal pada mukanya.
“Jangan kau seret dosa di tempat ini, sayang. Dosa tak lagi berkuasa. Kau jadikan dosa serupa adonan kue yang kemudian kau nikmati sendiri.”
Aku mencintainya melebihi cinta pada ibuku. Dulu.
“Tidak ada yang lebih baik selain tidak mengenalmu!”
Ia menatapku. Semakin dekat. Hingga dahi kami beradu.
“Sudah kuperingatkan bukan? Pelankan suaramu.”
Diraihnya ujung rambutku.
“Pelankan!”
Ia menarik rambutku berkali-kali seperti memainkan yoyo kemudian mendorong tubuhku ke atas ranjang.
“Kau tahu para pelacur di depan sana? Mereka tak lebih hina darimu!”
Plak!
Pipiku terasa panas.
“Jangan pernah bandingkan aku dengan siapapun. Lihatlah dirimu, sayang. Apa bedanya kau dengan para pelacur itu?”
“Kau akan menyesal!”
“Sssttt! Sudah kubilang, pelankan suaramu, sayang. Atau ibumu akan mendengar semua percakapan kita.”
“Ibu tolong!”
Aku memanggil ibu.
“Ibu!”
Memanggil lagi.
“Ibu!”
Lagi.
“Ibumu ada di sini, sayang. Sedang tertidur di bawah ranjang. Tolong bisikkan padanya, jangan halangi aku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H