Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FITO] Perut-perut di Tumpukan Sampah

25 Agustus 2016   23:57 Diperbarui: 26 Agustus 2016   00:45 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendung. Kemudian hujan. Satu jam lalu, matahari seakan berada di atas kepala. Bukan aku menolak, hanya karung ini terasa lebih berat. Kemasukan air.

Kutepis kecewa dengan rasa syukur, anak-anakku dapat segera mandi. Tunggu hujan makin lebat, mereka akan berlarian sambil memegang sabun.

Anak sulungku pernah bertanya, “Bu, mengapa kita miskin?”

“Tuhan belum tiba di rumah kita, Nak. Tuhan masih berada di tempat lain.”

“Apa yang Tuhan lakukan di sana?”

“Memberi makan anak-anak yang tidak bisa makan seperti apa yang kau makan, Nak.”

Kulihat kebanggaan pada binar matanya. Ia lupa akan ikan asin yang mengisi perutnya sehari-hari.

Mungkin Tuhan tak akan pernah datang. Dan itu artinya aku telah berbohong pada anakku. Sudah cukup tangan Tuhan lemparkan sampah-sampah itu setiap harinya. Adakah yang lebih membahagiakan selain menikmati sampah-sampah itu?

Kulihat perut-perut di tumpukan sampah. Perut-perut anakku. Aku harus penuhi karungku lalu menjualnya atau mereka akan meringis perangi rasa lapar.

Hujan kali ini membuatku menepi dengan terpaksa. Tiba-tiba kurasakan lelah yang luar biasa. Di antara kerumunan orang, aku melihat Tuhan. Yang kupercayai sebagai Tuhan, berjalan mendekatiku.

Pada telinga-Nya kuberbisik, “Tuhan, bolehkah jika aku tidak pernah dilahirkan?”

Dan Dia yang kupanggil Tuhan, mengangguk. Seketika semua lenyap.

Kudengar di luar sana seseorang berkata, “Wanita itu baru saja kehilangan janinnya. Dia keguguran!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun