“Aku tak mengerti, Mas. Harusnya kau katakan padaku sebelumnya. Kau tak bisa perlakukan aku seperti ini.”
Wanita itu mengepal tangan. Memukul-mukul bibir dermaga. Pipinya basah air mata. Senja lari terbirit-birit, meninggalkanku yang dipeluk perkara.
“Kemarin kau datang pada kedua orang tuaku, memintaku jadi istrimu. Dan sekarang, kau pergi begitu saja. Kurang ajar kau, Mas!”
Bibir mungil bergincu merah jambu bergetar. Menahan tangis. Mungkin perih. Getir.
Ingin sekali aku mengecupnya. Merengkuh bahunya. Membiarkannya berbagi luka denganku. Telah lama tak kujumpai seorang wanita menangis untukku. Terakhir kali, kulihat air mata ibuku tumpah di lulut pria itu. Pria yang meninggalkanku di stasiun kota.
“Kau lupa pada janjimu sendiri, Mas? Bahwa kau tak akan pergi?”
Aku menatapnya. Wanita itu melempar pandang pada debur ombak. Seolah-olah, sauh baru saja meluncur dari matanya. Tertambat batu karang, menahanku pulang.
“Apa yang harus aku lakukan di sini jika itu tanpamu, Mas?”
Ingin sekali kujawab kurang ajar padanya: Kau bisa mencari suami baru. Atau, kubebaskan ia menamparku hingga puas penuhi hatinya. Bahkan, jika wanita itu mencari Tuhannya lalu memohon untuk menghapus namaku dari hidupnya, aku rela.
“Waktuku tak banyak di sini atau aku akan tertinggal.”
Aku telah mengatakannya. Perpisahan.
“Bawa aku!”
“Itu tidak mungkin.”
“Kau laki-laki atau banci?”
“Sebab aku adalah laki-laki, maka aku harus pulang. Istriku hamil!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H