Akulah Badaimu, Win!/images6.fanpop.com
Di atas tumpukan kata-kata aku terduduk. Â Pandangi senja yang jingga pada matamu. Aku mencurinya, kemudian meletakkannya di atas meja.
Di atas meja, kedua bola matamu bergerak-gerak. Tebarkan aurora yang berkilauan. Aku mengecapnya hingga gulita.
Dan mataku basah, karna rindu yang tak tertahankan. Kemudian aku menjadi marah. Marah pada segala.
Marah pada senja yang selalu kembali,
Marah pada pagi yang pasti,
Marah pada cemburu yang membakar hati,
Marah pada tatap yang memabukkan,
Marah pada kamu, lelaki sialan!
Aku! Akulah badaimu!
Yang menerbangkan jarum-jarum untuk menembus kulitmu,
Yang melayangkan batu-batu untuk meremukkan kepalamu,
Yang melesatkan anak-anak panah untuk mengoyak dagingmu,
Yang menyalakan api untuk mengabukan tulangmu,
Yang menggerakkan pisau untuk menyincang bibirmu!
Dan aku terdiam di ujung kenangan. Tentangmu. Tentang sore itu. Tentang secangkir kopi yang menyesakkan.
Di atas secangkir kopi yang menyesakkan, ada cinta yang tak tersampaikan. Kemudian aku memuntahkannya pada neraka.
Di atas mata-mata neraka, hatiku berpulang. Meninggalkan kamu. Yang tidur lelap dalam belai fatamorgana.
***
Puisi sebelumnya:
2. Menanti Senja, Menanti Kamu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H