[caption caption="pic: wookmark.com"][/caption]
Sudah lebih dari dua puluh purnama sejak kepergianmu, aku hampir tak pernah sendirian. Jika dulu kau kerap mengajakku makan di warung depan kampus, sekarang ada Si Kribo bertubuh tambun yang gemar mentraktirku. Aku gak heran sih, namanya aja tukang makan, pasti badannya gembul kemana-mana.
Biasanya jika hujan tiba, kau menahanku pulang dengan alasannya kopimu belum habis atau takut tubuhku yang ringkih ini akan kembali terbaring di ranjang bila nekad membelah hujan. Aku bukan cewek penyakitan, hanya saja sering terkalahkan oleh hujan dan ranjang yang memang rindu untuk kutiduri.
Kini, saat aku hampir selesai melupakanmu dengan membuang sisa-sisa kenangan, tetiba kau muncul kembali melalui sebuah pesan singkat. Katamu kau akan segera kembali ke kotamu dalam waktu dekat. Kota kita sih, kota di mana sering menghabiskan waktu berdua hanya untuk memandangi bulan atau sekadar jalan-jalan menghabiskan permen karet, permen yang sama-sama kita tahu tak akan pernah bisa habis kecuali jika berniat bunuh diri.
Cinta, aku akan segera pulang.
Jemput aku di stasiun ya.
Masih ingat tempat di mana kereta kita berhenti untuk pertama kali?
Kau memang kurang ajar! Sejak kapan aku menjadi cintamu? Dan bagaimana mungkin aku melupakan kereta kita? Kereta yang penuh kenangan buruk di mana akibat kecerobohanmu, bibir-bibir kita saling bertaut. Jika aku mengingatnya, rasanya ingin muntah. Entah karena rasa bibirmu atau aku sudah muak dengan rindu yang bertumpuk ini.
Aku abaikan pesan singkatmu bukan karena aku tak mempunyai pulsa atau pura-pura tak mengingat nomormu, namun aku hanya tak ingin air mata ini tumpah sembarangan. Coba bayangkan, ketika sedang berada di dalam kelas lalu tiba-tiba menangis. Aku hanya takut jika dosenku menjadi merasa bersalah sebab materi yang beliau sampaikan gagal kupahami.
“Pada Suatu Hari Nanti” kata Sapardi: suaraku tak terdengar lagi / tapi di antara larik-larik sajak ini / kau akan tetap kusiasati. Membuat bayangmu pergi menjauhi mataku memang tidak mudah. Ketika pergi memancing bersama teman-teman, yang lain umpannya dimakan ikan, aku berkali-kali mendapati wajahmu. Aku telah mencoba melipatnya, menyimpannya dalam saku, lalu membakarnya setiba di rumah. Gagal. Kau selalu kembali dengan utuh, seutuh kenangan lalu yang mungkin tanpa kusadari selalu kucari.
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, dan yang dimaksud Sapardi dalam puisi “Dalam Doaku” ini sudah pasti dirimu, tidak ada yang lain. Nama siapa lagi yang kuteriakkan ke telinga Tuhan jika bukan namamu? Nama siapa lagi yang kepada-Nya kubisikkan rindu? Entah apa yang membuatmu tuli di negeri gingseng sana hingga tak pernah mendengar sepotong rindu yang sengaja kukirimkan untukmu melalui udara.
Aku sempat membuat dugaan-dugaan yang cengeng di mana aku ketakutan bahwa kau akan tertarik dengan perempuan berkulit putih, bermata sipit, berambut panjang lurus seperti yang kau elu-elukan ketika menonton film Korea bersamaku, lalu menikahinya tanpa ingat pulang. Dan pada saat itu juga aku merasa sangat menyesal karena telah memaksamu untuk menemaniku menonton film yang katamu alay.
Aku terus memikirkan pesan singkatmu yang dengan sengaja tanpa balasku. Apa yang membuatmu tiba-tiba ingin pulang? Apa kau akan meminta restu ayahmu untuk menikahi gadis sipit itu? Atau kau hanya ingin menemui ibumu dengan sedikit ingatanmu tentangku? Ah, betapa menderitanya diriku dengan dugaan-dugaan yang mengacaukan otakku.