[caption caption="pic: gizanherbal.files.wordpress.com"][/caption]Sore ini tak lagi gerimis,
Hujan,
Deras sekali,
Kaki-kaki tak berkasut menyusuri jalanan,
Becek –tentu saja,
Terinjak beling yang terbenam, oleh telapaknya,
Genangan coklat seketika memerah,
Darah.
Wajah tua yang basah meringis,
Kesakitan,
Melompat-lompat satu kaki,
Kedua tangannya berlomba hentikan cairan merah,
Sia-sia,
Ia menepi,
Mendudukkan pantatnya pada trotoar yang tumben sepi motor.
“Ah, kaki ini bikin soreku percuma,”
Menghela napas,
“Masih belum cukup,”
Tangisnya tersamar rajam hujan.
Terpincang-pincang jalannya,
Tercincang-cincang harapnya.
Pengemudi mobil menatapnya biasa,
Pun pengendara motor yang meludah tepat pada mukanya,
“Tak sengaja, ya dia tak sengaja,” ia mengelap muka yang terludah,
“Sepertinya, ia ludahi nasibku,” berhenti sejenak memilah sampah.
Manusia sampah,
Pemakan sampah,
Bukan!
Sampah-sampah tersulap sepiring nasi,
Butiran nasi termakan bersama garam,
Potongan daging yang sering terlihat di restoran mewah kalah nikmat.
Terbatuk-batuk,
Sepertinya sakit menyerang dada,
Hujan tumpah tiada ampun,
Ia tak peduli,
Sungguh tak peduli,
Hanya plastik-plastik yang ia cari,
Sampah-sampah dipilah dengan tangan keriputnya,
Ditemukannya potongan-potongan senyum anak dan istrinya.
-oOo-
*100 puisi "Orang-orang Kecil" bersama S Aji
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H