Di sebuah pegunungan yang gersang berbatu, tidak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan rerumputan juga ilalang lari tunggang langgang menuruninya. Sumber mata air mengering, hanya tetes-tetes hujan dari mata-mata wanita yang mengairinya.
Batu-batu pengunungan berwarna kuning keemasan, mirip warna besi berkarat, namun berbau anyir. Darah melekat di mana-mana, yang terbayang hanyalah sebuah tempat pembantaian. Beberapa orang meyakinkan bahwa pengunungan itu bukanlah Moria, sebab Abraham digagalkan malaikat saat hendak menyembelih anaknya Ishak.
Ada mayat-mayat yang berserakan. Sebagian menumpuk seperti jerami yang hendak dibakar. Tubuh-tubuh yang mati, yang tertombak, yang teratas, yang telah membangkai adalah untuk persembaan burung-burung gagak.
Selama ini telah terbiasa dengan tempat pembuangan sampah, bagaimana jika yang terlihat adalah tempat pembuangan mayat? Banyak lalat-lalat, belatung, semut-semut, juga anjing-anjing penggigit tulang-tulang kering. Hidung tertusuk mau busuk. Para wanita yang telah selesai menangis akan mual lalu muntah.
Simbararara lalala sim… hoooo ulakakakaka nananana…. Simbararara lalala sim…
Seseorang merapal mantra. Berkepala botak, berjanggut panjang, dan berjubah keemasan. Dipegangnya lonceng dan diputar-putarnya perapian kecil yang terbawa pada tangan kanannya.
Simbararara lalala sim… Thanatos… Thanatos… Simbararara lalala sim…
Sebagian wanita lari meninggalkan pegunungan, wanita-wanita yang menyayangkan nyawanya. Dan sisanya, berdiri mengelilingi tumpukan mayat yang bau busuknya seribu kali dari nasi basi.
“Thanatos datang! Thanatos datang!”
Simbararara lalala sim… hoooo ulakakakaka nananana…. Simbararara lalala sim…
Simbararara lalala sim… Thanatos… Thanatos… Simbararara lalala sim…
Kepala suku yang berkepala botak, merapal mantra lebih cepat. Gerak bibirnya diikuti oleh bibir-bibir hidup yang mengelilingi tubuh-tubuh mati. Perapian kecil pada tangannya padam seketika. Angin kencang melahap api. Langit jingga telah mengabu. Sekumpulan burung gagak bernyanyi dari timur.
Koaaaaaaaak… Koaaaaaaaaak…
Seribu gagak hujani mayat-mayat. Tubuh-tubuh mati tercabik. Isi perut terburai, diikuti cacing-cacing. Burung-burung hitam tampak murka dengan sisakan belulang. Pengunungan tak lagi dipenuhi mayat-mayat berserakan, hanya tengkorak-tengkorak.
“Thanatos masih lapar. Besok kita adakan upacara kembali.”
“Dari mana kita dapatkan mayat-mayat itu?”
‘Matikan siapa saja yang kalian temui.”
Kepala suku dan beberapa wanita turuni gunung, menuju pemukiman. Tatapan mereka kosong, hatinya mendadak beku, pun perasaannya. Dimasukinya kemah-kemah untuk mematikan siapa saja yang mereka temui.
Tombak-tombak mengalirkan darah anak-anak peremupan. Wanita-wanita yang adalah ibunya, belum sempat menjerit, belati telah menghunus jantungnya lebih dulu. Kini, mayat-mayat kembali berserakan. Di pemukiman.
***
Pagi membisu. Tak ada tangis. Tak ada duka. Tak ada pula yang berduka. Yang hidup telah mati. Yang mati adalah milik para gagak –putra Thanatos.
Wanita-wanita yang kehilangan hatinya mulai menumpuk mayat-mayat. Melemparkan tubuh-tubuh tak bernyawa seperti sampah. Ada yang tiba-tiba tertawa saat menemukan mayat yang adalah anaknya sendiri.
Koaaaaaaaak… Koaaaaaaaaak…
“Semua bersiap! Thanatos datang lebih cepat!”
Simbararara lalala sim… hoooo ulakakakaka nananana…. Simbararara lalala sim…
Simbararara lalala sim… Thanatos… Thanatos… Simbararara lalala sim…
Benar. Thanatos datang lebih cepat. Kepala suku selalu benar. Sekumpulan gagak yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak, kembali menghujani pemukiman. Burung-burung pemburu mayat, mencabik-cabik tiada ampun. Untuk sebuah kematian memang tiada ampun dan tidak menerima permohonan ampun.
“Thanatos marah! Matilah kita semua!”
Lelaki botak mulai ketakutan, diangkatnya jubah keemasan, kemudian berlari. Wanita-wanita itu berubah menjadi seperti zombie. Menggigit sesamanya. Memakannya hidup-hidup. Sungguh terlihat kemurkaan Thanatos merasuki mereka.
Matikan siapa saja yang kalian temui, matikan siapa saja yang kalian temui, matikan siapa saja yang kalian temui. Aku menanamnya dalam pikir, hati, juga jemari, dan aku akan mematikan siapa saja yang aku temui.
***
Sungguh mengasyikan ketika aku berhasil menancapkan tombak pada perutnya, lalu mengulanginya beberapa kali, seperti menumbuk. Ada kedamaian yang tak mampu terkatakan. Sebuah kematian.
“Kau salah, Kepala Suku. Tidak semua dari kita akan mati. Aku masih hidup bukan? Adakah Thanatos mati? Hahaha…”
Aku pergi meninggalkan tubuhnya. Kubiarkan putra-putraku yang lapar melahapnya sebagai makanan penutup. Aku akan hadir dan berdiri bersama sekumpulan orang jahat, sebelum mengakhiri hidup mereka.
-oOo-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H