Kepala suku yang berkepala botak, merapal mantra lebih cepat. Gerak bibirnya diikuti oleh bibir-bibir hidup yang mengelilingi tubuh-tubuh mati. Perapian kecil pada tangannya padam seketika. Angin kencang melahap api. Langit jingga telah mengabu. Sekumpulan burung gagak bernyanyi dari timur.
Koaaaaaaaak… Koaaaaaaaaak…
Seribu gagak hujani mayat-mayat. Tubuh-tubuh mati tercabik. Isi perut terburai, diikuti cacing-cacing. Burung-burung hitam tampak murka dengan sisakan belulang. Pengunungan tak lagi dipenuhi mayat-mayat berserakan, hanya tengkorak-tengkorak.
“Thanatos masih lapar. Besok kita adakan upacara kembali.”
“Dari mana kita dapatkan mayat-mayat itu?”
‘Matikan siapa saja yang kalian temui.”
Kepala suku dan beberapa wanita turuni gunung, menuju pemukiman. Tatapan mereka kosong, hatinya mendadak beku, pun perasaannya. Dimasukinya kemah-kemah untuk mematikan siapa saja yang mereka temui.
Tombak-tombak mengalirkan darah anak-anak peremupan. Wanita-wanita yang adalah ibunya, belum sempat menjerit, belati telah menghunus jantungnya lebih dulu. Kini, mayat-mayat kembali berserakan. Di pemukiman.
***
Pagi membisu. Tak ada tangis. Tak ada duka. Tak ada pula yang berduka. Yang hidup telah mati. Yang mati adalah milik para gagak –putra Thanatos.
Wanita-wanita yang kehilangan hatinya mulai menumpuk mayat-mayat. Melemparkan tubuh-tubuh tak bernyawa seperti sampah. Ada yang tiba-tiba tertawa saat menemukan mayat yang adalah anaknya sendiri.