[caption caption="pic: designbump.com"][/caption]
Aku melihatmu. Keluar dari rahimku. Darahku melekat pada kulitmu yang putih. Kau menangis, berteriak-teriak sekuat tenaga, sampai pada akhirnya mereka –yang mengelilingimu– tertawa.
Aku melihat suamiku. Teteskan air mata. Mendekatiku. Berbisik, “Syukur kepada Tuhan, anak kita telah lahir.” Aku tahu bahwa suamiku ingin sekali memelukmu, namun pria tua yang disebut dokter itu menghalanginya.
Aku melihatmu. Berontak ketika para wanita berpakaian putih bersihkan tubuhmu. Kau cantik sekali, terlebih saat selimut merah muda membungkus tubuhmu. Aku melihat sekilas binar-binar matamu.
Aku melihat suamiku. Bertengkar dengan dokter yang bawamu menjauh dariku. Suamiku tertunduk, dokter itu lenyapkanmu dari pandangku. Aku tak mengerti.
*
Aku melihatmu. Berlari-lari kecil dengan jepit kupu-kupu di kepala. Kau injak-injak rumput hijau muda, mainkan melati-melati yang baru mekar semalam. Matamu itu, mirip mata ayahmu.
Aku melihat suamiku. Seorang pengangguran. Duduk di atas motor bututnya. Nyalakan cerutu. Jika terlalu lama kumelihatmu di sini, ia akan marah. Biasanya lima pukulan akan ia daratkan pada wajahku.
Aku melihatmu. Begitu bahagia. Kau berikan peluk dan ciummu pada mereka yang kau panggil: Mama-Papa. Aku pantas iri, sebab aku ibumu. Yang melahirkanmu dari rahimku.
Aku melihat suamiku. Tertawa terbahak. Bangunkan tetangga tengah malam. Mabuk. Kataku tak didengarnya, hanya tangan-tangan kalap itu yang berbicara. Aku pasrah dalam doa yang entah menguap kemana.
*