[caption caption="pic: dpshots.com"][/caption]
Matahari berjalan mendahului Sandra. Langit berubah warna seketika. Jingga. Burung-burung gereja berlomba pulang. Kembali ke sarang. Di atas pohon. Rindang. Bunga pukul empat tertunduk. Sambut langkah Sandra menuju pulang.
Sandra. Berkulit putih pucat. Berambut panjang. Sepinggang. Dikepang. Bersepatu merah. Berbaju renda-renda. Bercelana hitam. Tinggalkan sebuah rumah. Penuh anak-anak. Jinjing koper. Cokelat tua.
Berhentilah Sandra. Di depan gerbang. Rumahnya.
“Kita pulang, Ben. Aku akan membersihkan tubuhmu, juga tubuh kawanmu. Jempol setan.”
Sandra memasuki rumah. Penuh sarang laba-laba.
“Aku tak ada waktu untuk membersihkan tempat ini. Aku lebih peduli pada kalian.”
Koper tetap dijinjing. Mencari dapur. Membuka koper. Mengambil mangkuk. Diisi air. Setengah penuh. Terbalut tangan oleh kain. Dibasahinya dengan air. Tangannya sentuh wajah Ben. Dibersihkannya debu-debu. Juga, sentuh wajah Jempol Setan. Dibersihkannya debu-debu.
“Aku mau ceritakan rahasia, mengapa kalian selalu bersama-sama. Kalian pasti tahu. Aku memiliki kekasih. Ben namanya. Benjamin. Aku dan Ben menikah. Dua tahun lalu pada musim semi. Tiba-tiba, seorang wanita datang. Perutnya buncit. Mengandung. Ulah ben. Aku dihukum, sebab telah kucuri suaminya. Jempolku dipotong.”
Sandra. Tersenyum. Bersedih. Tertawa. Menangis. Meminum air bercampur debu pada mangkuk. Membanting Ben. Berulangkali. Pada lantai-lantai retak. Mirip hatinya. Diambilnya Jempol Setan. Dipuja-puja. Disulamkan pada telapak tangannya.
“Jempolku kembali. Jari-jariku utuh lagi. Dan kau Ben, kapan mati?”
Sandra dengar. Pintu terketuk. Ada orang. Dipungutnya Ben dari lantai. Dicabutnya Jempol Setan yang tersulam pada telapak tangannya. Berdarah.
Sandra berlari. Membuka pintu. Sekumpulan anak. Tersenyum sama lebar.
“Kak Sandra, pulanglah ke rumah kami.”
Sandra mengangguk. Dimasukkannya Ben juga Jempol Setan yang adalah boneka jari ke dalam koper.
***
Di sebuah ruangan yang gelap. Ben juga Jempol Setan terbangun. Kepalanya terantuk.
“Ben...”
“Ya, Pol?”
“Kau cium sesuatu?”
“Hanya bau ompol. Ompolmu.”
“Bangkai.”
“Tubuhmu bau bangkai.”
“Jangan menghinaku. Lebih baik lubangi saja dinding ini agar ruangan sedikit terang.”
Dinding terlubangi. Ruangan remang. Terlihat benda menghitam. Di pojokkan.
“Sepertinya, makhluk itu saudaramu.”
“Aku tak punya saudara, Ben. Hanya kau satu-satunya yang kumiliki selama ini. Tak ada seorangpun yang tahu bahwa kita sesungguhnya berkawan baik.”
“Tubuhnya mirip denganmu. Hanya lebih hitam dan bau.”
Jempol Setan dekati benda. Di pojokkan.
“Ben... itu jempol yang mati!”
-oOo-
Fiksi Bersambung Lainnya || Grup FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H