“Wajahmu sama sekali tak menarik. Kau tak menyenangkan.”
“Baguslah.”
“Masih mau menunggu? Di luar saja. Aku harus berberes segera.”
“Kau gila! Di luar dingin!”
“Kalau begitu pulanglah.”
“Aku harus menunggu!”
“Siapa?”
“Bukan urusanmu!”
Kuputuskan untuk tinggalkan cafe. Berdiri aku di luar. Dingin sekali. Aku tak menyesal untuk melanjutkan tunggu di luar, sebab dingin malam telah bekukan air mata. Takdirku berkawan bulan dan bintang.
Oh, sial. Hujan datang tanpa kuminta. Lebih baik kupunggungi saja, biar basah setengah, dari pada isi surat yang pudar. Aku harus melindungi janji itu. Janji di mana dia akan datang, seperti pada malam ini.
Oh, sial. Aku dan pemilik cafe beradu pandang. Mengapa pintu ini terbuat dari kaca? Mengapa pemilik cafe mengamatiku? Pasti aku terlihat sangat tolol. Aku tak bisa menghindar, hujan batasi gerakku.