Pebrianov, sebuah nama yang mendosa. Racuni pori-pori untuk kemudian melumat habis rindu lalu. Kuakui, kau memang bangsat adanya. Kau telah lebih keparat dari tikus-tikus yang gerogoti duit rakyat jelata.
Berulang kali kau gagal lalukan lendir di antara selangkangan dari pikirmu. Berlomba-lomba napsumu lahirkan birahi bejat. Seperti orang gila berlari-lari untuk kemudian buang hajat. Tapi sayang, kau lebih mirip banci dengan otak di pantat.
Dengus desah terarah di balik kutang. Jilat-jilat manja menggoda. Aku tertawa sebab lendir butakan matamu. Kau ciumi apa yang ada di balik kutang dengan jilat yang membabi buta. Sadarkah kau bahwa pantat babi berkutanglah yang kau garap saat ini?
Aku sungguh prihatin.
Hahaha.
Sungguh prihatin, aku.
Jangan kabarkan cinta putih padaku. Lihatlah dirimu, Perbianov! Apakah yang membusuk sanggup ciptakan sesuatu yang suci? Apakah iblis yang tolol mampu ramu penawar rindu lalu? Rupanya kau perlu kupanggang sekali lagi, agar otakmu lebih sanggup menyadari bahwa kau tak pernah layak untuk dekatiku.
Kau mendekat. Belati bersiap. Kau mendekap. Belati tertancap. Kau menyumbu. Belati potong lidahmu. Agar tak ada lagi liur-liur yang tertukar juga lidah yang saling terkait.
Muncratkan saja darah rindu milikmu agar terlumurkan pada tubuhku. Kudekatkan bibirku pada bibirmu untuk kemudian kuhisap keiblisanmu. Tubuhmu mengering sudah. Aku bahagia sebab kau tak lagi berdaya.
-oOo-
Baca rangkaian fiksi terdahulu ;
Puisi untuk Desol || Bunuh Aku, Pebrianov! || Kubunuh Kau dengan Kelelakianku, Desol! ||Rintih-rintih Palsu Pebrianov || Kunikmati Kemunafikkan Keperempuananmu, Desol! || Pebrianov, Pejantan Basi! || Janji Kematianku pada Desol! || Pebrianov, Mati!  || Kutemani Kau Bermimpi Menghujamku, Desol!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H