“Sebanyak Ibu membicarakan Nenek!”
Ibu menyerah. Ibu memilih meninggalkanku dengan bunga melati yang mulai mengering. Aku rasa, melati ini lelah menjadi saksi pertengkaran aku dengan Ibu. Bisa jadi, tak lama lagi, melati ini mati. Melati saja mengering, apalagi hati Ibu. Ah, sudahlah. Semua karena Nenek!
Aku masih ingat di mana hari-hari itu harus kulalui dengan berat hati. Hari-hari di mana canda-tawa hilang seketika. Lenyap dari rumah ini. Rasa sepi yang memenangkan hati dari puluhan orang yang silih berganti mendatangi rumahku. Aku tak pernah meminta semua ini!
Pahit rasanya ketika melihat Ibu tak sadarkan diri berulang kali. Ibu pingsan. Tangisnya kering, sebab air matanya telah habis terkuras malam itu. Aku hanya bisa meringkuk di atas ranjang. Menyembunyikan tubuh dalam selimut, membuatku bebas meneriakkan duka.
***
Pukul delapan malam lebih lima belas menit.
Aku lapar. Rupanya tiga gelas air putih dan setangkup roti manis saat berbuka tadi tak mampu menyenangkan perutku. Beberapa kali Ibu mengintip kamarku, mungkin takut anaknya pingsan kelaparan. Aku pilih untuk tak makan, sebab menunya ketupat Nenek.
Ibu membuka pintu. Dibawanya sepiring ketupat Nenek dengan kuah santan dan beberapa potong ayam di atasnya. Aku memalingkan muka. Berharap Ibu sadar bahwa aku menolaknya.
“Makanlah…”
Aku diam.
“Ketupat Nenek dibuat dengan penuh cinta untukmu. Lupakan yang lalu.”