.
Desy Riani, No. 3
.
JANUR-JANUR KUNING TELAH TERPISAH DARI TULANGNYA. DUA DI ANTARANYA MELEKAT MEMBENTUK SEBUAH GULUNGAN DI TANGAN SEORANG WANITA TUA. JEMARINYA BEGITU TERAMPIL MENYEMATKAN JANUR-JANUR TAK BERTULANG ITU.
Ah, setiap tahun selalu saja begini. Sebenarnya aku sudah bosan dan ingin duduk di amben kesayangku sambil melihat Surti menjemur kopi. Tapi mau gimana lagi, aku harus rela meninggalkan ambenku sebulan ini hanya demi Yanti. Namanya juga rakyat kecil, kalau mau dapat THR ya harus sengsara dulu.
SEPULUH MENIT KEMUDIAN
Janurnya jelek-jelek, mungkin cuma dapat 30 ribu hari ini. Ya bukan salahku kalau tak bisa membuat 200 biji sebelum jam istirahat. Percuma juga ada jam istirahat, lha kita kan puasa. Kalau juragan lagi kerasukan, pasti hari ini dapat upah 100 ribu.
TAWA MELEDAK DI SEBUAH RUANGAN DENGAN KAPASITAS 10 ORANG NAMUN HANYA BERISI 3 ORANG. SEMUANYA WANITA, DAN TENTUNYA SUDAH TAK MUDA LAGI. SALAH SATU DI ANTARANYA ADALAH PAINEM.
Heran aku, punya juragan kok pelit sekali. Seandainya tidak ada buka puasa gratis, aku tidak akan mau bekerja di sini. Setidaknya uang belanja harian jadi semakin berkurang. Bukan karena aku pelit, tapi karena memang aku tak berduit. Lha kalau berduit, aku pasti sudah menjadi juragan kalian.
JAM DUA BELAS SIANG
Surti ingin aku carikan suami, itupun kalau ada yang mau sama dia. Kalau saja Paijo tidak memilih untuk tinggal dengan istri keduanya, pasti aku sudah mempunyai 2 cucu. Satu cucu saja sudah bikin pusing. Uang sekolah yang katanya gratis ternyata hanya isapan jempol. Kalau saja uang sekolah bisa dibayar dengan jempol, tentu jariku tak lagi 10. Aku mau tidur, bangunkan aku kalau jarum pendek sudah berada di angka 1.
WATI DAN MARNI SUDAH BERSIAP DENGAN JANUR-JANUR MEREKA. DUA JANDA ITU BERTERIAK MEMANGGIL SEORANG KAWANNYA YANG TENGAH TERTIDUR PULAS.
Mungkin Painem sudah tuli. Suara kita tak lagi terdengar di telinganya. Atau mungkin kita yang habis daya untuk bisa bersuara lebih keras lagi? Lebih baik kauguncang-guncangkan saja tubuhnya, pasti akan terbangun.
KEDUANYA MENDEKAT KE TUBUH PAINEM. SALAH SATU TANGAN MEREKA MEMEGANG BAHU DAN MENGGUNCANGKANNYA.
Bu... Bangun bu Inem, sudah jam 1... Kita harus bekerja lagi jika tidak ingin mendengarkan gonggongan jurangan. Apa kau akan tidur sampai jam buka tiba lalu mendapatkan makanan gratis?
TIDAK ADA REAKSI.
Bu... Ojo guyon... Ora lucu iki.
HENING.
...
WATI BERLINANG AIR MATA.
Hidup mati manusia memang sudah ada yang mengatur. Kita tidak bisa menentukan kapan kita akan berhenti bernafas. Bu Painem telah berpulang. Beliau benar-benar beristirahat siang ini.
DI SEBUAH GUBUK KECIL, YANTI YANG ADALAH CUCU PAINEM TENGAH DUDUK DI TERAS RUMAH. RAMBUTNYA DIIKAT MENYERUPAI EKOR KUDA. IA MENGENAKAN ROK WARNA PINK SAMBIL MENUNGGU PAINEM UNTUK MENAGIH JANJI. JANJI UNTUK MEMBELIKANNYA BAJU BARU MALAM INI. SEDANGKAN SURTI MASIH TETAP MENJEMUR KOPI WALAU MATAHARI TAK BERSINAR LAGI SAMBIL SESEKALI TERTAWA LALU MENANGIS.
*** kunjungi karya peserta lainnya silakan bergabung di grup FB Fiksiana Community sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H