Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Valentinsiana] Antidote

13 Februari 2014   20:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1392298577422131587

Keduanya kini saling memagut. Membiarkan hasrat terluapkan melalui paduan gerak tanpa irama. Melepaskan sejenak pertahanan tubuhnya. Saat ini mereka saling memiliki, saling membutuhkan. Hanya untuk saat ini, kemudian tidak lagi.

***

***

Desy Riani + Rahab Ganendra, No. 1

***

Lenguhan napas terengah-engah, sayup-sayup terdengar. Nadanya tak beraturan. Dengusan menguasai hening sebuah kamar hotel berbintang. Bayang geliat gerak tubuh manusia remang terlihat. Tak berirama. Siluet dua tubuh semakin kencang bergerak berayun. Hingga kemudian punggung itu menghentak-hentak. Melemah lalu berhenti sama sekali. Onggokan tubuh itu terhempas, bagaikan daun lepas dari tangkainya.

Sekian lama.

Ia sibak selimut yang hanya menutupi sebagian kecil tubuhnya lalu beranjak mengambil handuk di lantai dekat ranjang. Duduk sebentar di balkon sambil menata ikal rambutnya.

“Aku suka caramu,” ujar lelaki itu sambil terkekeh.

Tak menyahut, perempuan itu beringsut. Ditinggalkannya lelaki itu yang tengah asik dengan rokoknya setelah semalaman meninggalkan jejak-jejak cumbu pada tubuhnya. Dibiarkannya air membasahi setiap lekuk tubuh sintalnya, berharap jejak-jejak itu terhapus.

***

Gincu merah tua telah tersapu pada bibirnya. Seksi. Itulah kesan pertama tiap mata lelaki ketika memandangnya. Rambutnya dibiarkan terurai dengan memamerkan jajaran mutiara bernilai milyaran rupiah yang menghiasi leher jenjangnya.

Beberapa pasangan mata lelaki hidung belang terus meniti tiap lekuk tubuhnya. Dia tak menggubris, hanya secangkir kopi hitam yang mampu mencuri perhatiannya di kafe itu. Jemarinya sesekali membolak-balik halaman utama sebuah koran nasional. Sesekali juga ia terkikik.

“Lima tahun, bukan waktu yang singkat untuk menunggu hari ini. Aku akan memberikan apa yang kau mau. Tubuhku,” gumannya.

Telepon genggamnya berdering. Ia melepaskan kacamata hitamnya lalu tertawa.

“Kerja yang bagus. Aku akan memberi bonus untuk kalian. Hahaha...”

Ia bergegas menuju mobilnya. Dua jam lagi ia harus sudah berada di sebuah hotel berbintang untuk melunasi janji pada kekasihnya.

***

Kamar 102...

“Kurang ajar! Wanita-wanita itu mati bunuh diri!” teriak lelaki itu sambil melempar koran ke ranjang.

“Kau takut?”

“Tidak ada yang aku takuti, bahkan maut sekalipun. Aku hanya tak ingin kehilangan mainanku. Kini hanya tersisa dirimu dan sudah kupastikan bahwa hidupmu akan berakhir sama seperti mereka.”

“Hahahaha... Kaupikir aku akan begitu? Kecuali jika kau membunuhku malam ini.”

“Ah, sayang... aku tidak mungkin melakukan hal itu padamu. Aku masih menginginkanmu.”

“Tunggu apalagi? Kau bisa memulainya sekarang.”

Keduanya kini saling memagut. Membiarkan hasrat terluapkan melalui paduan gerak tanpa irama. Melepaskan sejenak pertahanan tubuhnya. Saat ini mereka saling memiliki, saling membutuhkan. Hanya untuk saat ini, kemudian tidak lagi.

***

Semakin lemas. Tak berdaya. Lelaki itu mengeluarkan busa pada mulutnya. Sesekali meronta, sesekali juga lawannya tertawa. Keduanya masih tanpa busana, namun keduanya dalam keadaan yang berbeda.

“Angella....”

“Kau panggil aku siapa? Angella? Hahaha....”

“Angella.... apa yang telah kau lakukan padaku?”

“Seperti yang telah kita lakukan sebelumnya, dan kau tahu itu. Kita hanya bercinta bukan? Aku hanya memindahkan sebuah pil ke dalam mulutmu saat kita berpagut. Dan aku rasa, kau sangat menikmatinya.”

“Kau ingin aku mati?”

“Bagiku kau sudah mati sejak 5 tahun lalu.”

“Angella....”

“Aku bukan Angella!”

“Bohong!”

“Apa kau ingat? Seorang gadis kampung yang kau hamili dulu? Menunggu janji untuk kau nikahi, sampai akhirnya dia diusir oleh bapak-ibunya. Hahaha, rupanya dia bahagia karena kehilangan janinnya. Dia keguguran. Gadis itu adalah aku! Martini! Hahaha...”

“Martini?”

“Ya, Martini! Martini yang kau kenal kini, sudah tak sama lagi. Aku sudah dipinang oleh bos mafia kota ini. Kota di mana kau pergi meninggalkanku. Dan aku juga yang membayar orang untuk membunuh wanita-wanitamu. Para wanitamu tak bunuh diri! Aku yang menghabisinya! Hahaha...”

“Brengs.....”

Lelaki itu berhenti berkata-kata. Lelaki itu berhenti bernapas.

“Oops... akhirnya kau pergi juga. Bye sayang... hahaha...”

***

Dua jam kemudian...

Kamar 102 di salah satu hotel berbintang, dipadati polisi. Dugaan sementara, lelaki itu sengaja bunuh diri karena didapati botol kecil penuh pil beracun dekat ranjangnya. Para kuli tinta pun berlomba cari berita.

Sesungguhnya, cinta itu masih membara. Pun rindu kisah-kasih 5 tahun silam, di mana belai-belai manja mampu ia rasa setiap saat. Namun, ia memilih untuk mematikan rindu. Mencabut benih-benih cinta yang pernah tertanam. Mencabut nyawa seorang yang pernah ia cinta. Selamanya.

Martini dengan mobil mewahnya melaju semakin kencang. Sekencang ia melupakan masa lalunya. Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya dekat sebuah jembatan, membuka jendela lalu melemparkan sebuah botol kecil. Antidote. Penyelamat nyawa ketika akan mengakhiri hidup si pembuat luka masa lalunya.

.

angin lamat menderu, eratkan pelukan pada tubuh terluka

sejumput noktah hitam jiwa sebatang kara berkelana

hapuskan pedih atas kutukan nasib mendera

kuburkan dalam nisan lahat pusara masa

entah kapan rembulan purnama

terangi hati nan membara

pada seutas nyawa

yang tersisa

dosa

***

**

*

*************

Bergabunglah bersama kami di :

FB Fiksiana Community | Twitter Fiksiana Community | Fiksiana Community di Kompasiana

Baca Fiksi Valentine lainnya DI SINI

gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun