Mohon tunggu...
Desny Zacharias Rahardjo
Desny Zacharias Rahardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Co-Founder of Membangun Positivity

Orang biasa yang suka membaca, menulis, dan makan bubur yang tidak diaduk.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terungkap! Kesalahpahaman tentang Kebahagiaan

13 Desember 2020   08:35 Diperbarui: 13 Desember 2020   08:38 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.membangunpositivity.com 

Prof. Laurie Santos dari Universitas Yale di kelas online The Science of Well-Being berkata bahwa menurut sains kita seringkali mengejar hal yang salah!

Tanpa sadar kita terperangkap dalam kesalahpahaman tentang kebahagiaan (Misconception of Happiness). Hal-hal yang menurut kita akan membawa kebahagiaan ternyata sebenarnya tidak. Jadi, bersiaplah untuk meluruskan kesalahpahaman Anda.

Apa kira-kira hal-hal yang kita pikir akan membuat kita bahagia? Pekerjaan yang bagus, gaji yang tinggi, uang, benda-benda berharga, cinta sejati, atau memiliki wajah dan tubuh yang sempurna?

Kita manusia sering kali mendasarkan banyak keputusan pada prakiraan afektif (affective forecasting) - prediksi tentang reaksi emosional kita terhadap kejadian di masa depan. 

Sayangnya, kita tidak dapat secara akurat memperhitungkan bagaimana perasaan kita di masa depan; sebaliknya, malah cenderung melebih-lebihkan seberapa positif atau negatif perasaan kita tentang situasi di masa depan itu. Ini diteliti oleh Timothy D. Wilson dari University of Virginia dan Daniel T. Gilbert dari Harvard University di tahun 1990an (Affective Forecasting: Knowing What to Want).

Kita akan coba lihat ya hal-hal yang tadi kita sebutkan, yang oleh banyak orang dianggap dapat membuat kita Bahagia.

Pekerjaan yang Baik atau Keren

Apakah mendapatkan pekerjaan yang keren dan prestisius membuat Anda bahagia? Jika Anda tidak mendapatkan pekerjaan yang baik, apakah Anda akan sangat tidak bahagia? Mari kita simulasikan. 

Daniel Gilbert dan koleganya pada tahun 1998 melakukan penelitian ini. Mereka mengumpulkan mahasiswa2 tingkat akhir yang sebentar lagi akan memasuki dunia kerja, dan meminta mahasiswa2 itu membayangkan bagaimana perasaan mereka ketika diberitahu mereka gagal mendapatkan pekerjaan impian mereka. Diprediksi sebelum dan sesudah mereka mendengar kabar tidak menyenangkan tersebut. 

Ternyata kebahagiaan mereka tidak turun sebanyak yang diperkirakan ketika mereka mengetahui bahwa mereka gagal mendapatkan pekerjaan itu.

Dalam survei di tahun 2018 oleh BetterUp Labs, sembilan dari 10 orang mengatakan bahwa mereka bersedia menukar 23% dari penghasilan masa depan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih bermakna. Toh, pada kenyataannya berat untuk melakukannya, karena berbagai macam pertimbangan, diantaranya tidak mau melepaskan gaji yang besar. Akhirnya, tetap tinggal dalam pekerjaan yang tidak disukai itu, walaupun tidak bahagia.

Gaji yang Tinggi

Berikut ini jenis kesalahpahaman lainnya. Katakanlah Anda mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Apakah gaji yang tinggi ini cukup untuk membuat kita bahagia? Seberapa tinggi gaji untuk bisa dikatakan cukup?

Anda mungkin berpikir hidup Anda akan lebih baik jika Anda hanya memiliki gaji yang lebih besar - tetapi sains menemukan bahwa itu belum tentu benar.

Sonja Lyubomirsky dalam bukunya The How of Happiness menunjukkan data tentang seberapa besar gaji tahunan yang diinginkan orang berdasarkan gaji yang mereka miliki sekarang:
*Saat ini menghasilkan $ 30.000. Ingin $ 50.000
*Saat ini menghasilkan $ 100.000. Ingin $ 250.000

Terlihat khan, you want more everytime you get more. Apa yang kita pikir kita butuhkan sebenarnya melonjak setiap kali kita mendapatkan lebih banyak. Lalu, kapan bahagianya? Betul kata Sonja Lyubomirsky, pendapatan tinggi membeli kepuasan hidup tetapi bukan kebahagiaan.

Uang

Kemudian soal uang. Semua orang mengira bahwa jika Anda punya banyak uang, Anda akan bahagia. Tapi apakah itu benar?

Para ilmuwan telah mempelajari hubungan antara uang dan kebahagiaan selama beberapa dekade dan kesimpulan mereka jelas: Uang memang dapat membeli kebahagiaan, tetapi tidak sebanyak yang dipikirkan kebanyakan orang (Aknin, Norton, & Dunn, 2009; Diener & Biswas-Diener, 2002; Frey & Stutzer, 2000)

Kebahagiaan memang naik seiring kenaikan gaji, tetapi kenaikan itu berhenti pada suatu titik, sekitar $ 75.000/tahun (Daniel Kahneman & Angus Deaton - Princeton University, 2010). Itu berarti setelah titik itu, bahkan jika Anda melipatgandakannya, itu tidak akan meningkatkan kebahagiaan Anda. Life Satisfaction iya, tapi tidak Well-Being dan Kebahagiaan.

Jika uang tidak membuat anda bahagia maka anda mungkin tidak memanfaatkannya dengan benar, kata Elizabeth W. Dunn dari Universitas British Columbia, Daniel T. Gilbert dari Universitas Harvard, Timothy D. Wilson dari Universitas Virginia.

Bagaimana bisa? Uang memungkinkan orang melakukan apa yang mereka suka, jadi bukankah seharusnya mereka senang saat membelanjakannya? Logikanya, orang dengan lebih banyak uang tidak hanya memiliki hal-hal yang lebih baik, mereka mampu memenuhi kebutuhan nutrisi yang lebih baik, akses kepada perawatan medis yang lebih baik, lebih banyak waktu luang, dan lebih banyak lagi bahan baku dalam resep untuk hidup bahagia. Namun, kenyataannya mereka tidak jauh lebih bahagia daripada mereka yang memiliki lebih sedikit. Berarti ada yang salah khan.

Betul bahwa uang adalah kesempatan untuk mencapai kebahagiaan, tetapi kesempatan ini sering disia-siakan orang karena kesalahpahaman tentang kebahagiaan tadi. Contohnya, membelanjakan uang untuk barang-barang yang membuat mereka bahagia sebentar saja. Ini karena kita akan segera terbiasa dengan barang2 berharga tersebut, dan oleh karenanya kebahagiaannya menurun.

Pikiran kita menyebabkan kita mengejar hal-hal yang menurut kita akan membuat kita bahagia tetapi ternyata tidak, dan kita melakukannya dengan mengorbankan perilaku yang benar-benar akan meningkatkan kesejahteraan kita jika kita melakukannya.

Kita semua bisa meningkatkan kebahagiaan kita jika kita melakukannya dengan cara yang benar. Kita hanya perlu mengambil sedikit lebih banyak pendekatan ilmiah.

Pada kesempatan yang akan datang kita akan bicara lebih lanjut mengenai mengapa ekspektasi2 kita kerap kali begitu buruk. Sabar ya.

Desny Zacharias Rahardjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun