Mohon tunggu...
Desny Zacharias Rahardjo
Desny Zacharias Rahardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Co-Founder of Membangun Positivity

Orang biasa yang suka membaca, menulis, dan makan bubur yang tidak diaduk.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Riset: Uang Bisa Membeli Kebahagiaan?

23 November 2020   17:01 Diperbarui: 23 November 2020   17:11 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu tantangan berat Indonesia untuk memperbaiki posisinya di World Happiness Report adalah soal ekonomi. Menurut beberapa penelitian, besarnya penghasilan seseorang menentukan tingkat positivity (kebahagiaan) yang bisa dimilikinya.

Uang memang bisa membeli positivity, karena dengan uang seseorang bisa mengajak teman untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu bersama. Atau hanya sekedar pergi menemui teman di rumahnya atau di satu tempat. Uang juga bisa membelikan makan siang untuk teman. Semua ini bisa meningkatkan angka positivity.

Meski demikian uang setelah tingkat tertentu tidak berpengaruh lagi dalam meningkatkan positivity. Ekonom dari Princeton University Woodrow Wilson School, Angus Deaton dan psikolog Daniel Kahneman, yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Ekonomi pada tahun 2002, menganalisis tanggapan dari 450,000 orang Amerika yang disurvei oleh Gallup dan Healthways pada tahun 2008 dan 2009. Riset ini untuk meneliti hubungan antara besarnya penghasilan dan kebahagiaan. Mereka menemukan angka USD 75,000 pertahun untuk sebuah penghasilan yang ideal untuk dapat menaikkan angka positivity. USD 6,250 per bulan atau sekitar Rp 70 juta per bulan karena kurs yg berubah-ubah. Tentu saja standar hidup di Indonesia berbeda, sehingga diperkirakan untuk Indonesia angka ideal itu adalah Rp 30 juta per bulan.

Sekarang, katakanlah kita memiliki uang untuk membeli kehabagiaan tersebut. Kita kerap berpikir bahwa memiliki barang-barang bagus adalah jalan menuju kebahagiaan. Membeli rumah baru yang lebih besar, mobil baru, pakaian baru. Dan begitu Anda mendapatkannya, Anda akan bahagia.

Tapi penelitian menunjukkan bahwa barang-barang yang kita beli itu ternyata tidak membawa kebahagiaan jangka panjang seperti yang kita harapkan. Anda akan segera terbiasa dengan barang-barang tersebut, dan ketika Anda sadari, barang-barang tersebut sudah tidak lagi membawa kebahagiaan bagi Anda, atau paling tidak, tidak sebesar ketika Anda pertama kali membelinya.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa PENGALAMAN memberi orang lebih banyak kebahagiaan daripada barang materi.

Kalau pun Anda tetap ingin membeli barang material, maka setidaknya pilihlah produk yang akan memberi Anda pengalaman baru, yang membantu Anda mempelajari atau mengembangkan keterampilan baru (seperti buku, perlengkapan olahraga, atau alat musik).

Pemanfaatan uang yang baik lainnya adalah MEMBELI WAKTU. Time Affluence adalah prediktor kebahagiaan yang lebih baik. Gunakan uang Anda untuk menghindari melakukan hal-hal yang tidak Anda sukai, dan Anda akan memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang Anda sukai.

Jika Anda ingin benar-benar merasakan kebahagiaan yang lebih abadi, belanjakanlah uang Anda dengan lebih cerdas. Gunakan uang Anda untuk membeli pengalaman dan waktu, bukan barang.

Sumber:
Kahneman & Deaton (2010). High income improves evaluation of life but not emotional well-being.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun