Perekonomian dunia pascapandemi dihadapkan pada situasi yang tidak mudah dan sulit diperkirakan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat di banyak negara, khususnya negara-negara maju yang diikuti dengan inflasi tinggi (stagflasi). Pangkal penyebabnya adalah invasi militer yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina serta kebijakan nol Covid-19 dari China.
Implikasi dari kedua pangkal penyebab tadi adalah melambungnya inflasi di berbagai negara. Bahkan, inflasi tinggi harus dialami oleh negara-negara maju. Sebuah keadaan yang tidak pernah terjadi dalam empat decade terakhir. Sampai dengan November 2022, inflasi di Amerika Serikat (AS) di level 7.1% (yoy), Eropa, di level 10% (yoy), Inggris di level 10.7% (yoy), dan Jepang di level 3.7% (yoy). Kenaikan inflasi juga terjadi di negara-nega berkembang, seperti India di level 5.88% (yoy), Brasil di level 5.9% (yoy), Indonesia di level 5.4% (yoy), Malaysia di level 4% (yoy), dan Thailand di level 5.5% (yoy).
Untuk meredam inflasi yang melambung ini, maka bank sentral di negara-negara maju harus menaikkan suku bunga secara agresif. Bank Sentral AS (The Fed), misalnya, telah menaikkan suku bunga hingga ke level 4.5%-5% dalam 9 bulan terakhir dan masih berlanjut hingga tahun 2023 nanti.
Konsekuensi dari kenaikan suku bunga yang sangat agresif ini telah memunculkan fenomena flight to quality, yaitu terjadinya aliran modal keluar dari pasar keuangan di negara-negara berkembang ke pasar keuangan di negara-negara maju. Implikasinya, harga aset keuangan di negara-negara berkembang, seperti saham, obligasi, dan turunnya cenderung tertekan dan bergejolak. Bahkan, sejumlah investor global harus mengonversi aset keuangan ini menjadi uang kas untuk meminimalkan kerugiaan yang lebih besar akibat kekuatiran terhadap gejolak yang lebih tinggi, hingga terjadilah yang disebut dengan fenomena cash is the king.
Muara dari semua ini memunculkan apa yang disebut dengan strong dollar, yaitu menguatnya (apresesi) nilai tukar dollar AS terhadap hampir semua nilai tukar global lainnya, termasuk rupiah melemah dan bergejolak. Sehingga, untuk meredam gejolak dan pelemahan rupiah ini, Bank Indonesia harus melakukan berbagai kebijakan, mulai dari kebijakan triple intervention (pasar spot, NDF, dan SBN) melalui cadangan devisa dan menaikkan suku bunga kebijakan (BI-7DRR) hingga ke level 5.25% sampai November 2022. Â
Mewaspadai Efek TularÂ
Untunglah, di tengah situasi perekonomian global yang cenderung melambat dan berbalut ketidakpastian itu, kinerja perekonomian Indonesia tetap solid. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang ekspansif dan tumbuh di level 5.72% (yoy) di kuartal III-2022. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini jadi salah satu yang terbaik di antara negara-negara G-20.
Bukan itu saja, di tengah kekuatiran terjadinya resesi ekonomi global tahun 2023, perekonomian ekonomi Indonesia tetap diramalkan tumbuh positif di level 4.8%-5.0% (yoy) pada tahun 2023 nanti. Pendeknya, peluang ekonomi Indonesia untuk mengalami resesi sangat kecil.
Meski begitu, keadaan itu tidak menjamin ekonomi Indonesia aman. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, perlambatan ekonomi global yang berbalut ketidakpastian itu tetap berpeluang memicu efek tular pada perekonomian Indonesia. Dan, harus diakui efek itu sudah mulai muncul, khususnya memasuki kuartal IV-2022, yaitu dengan makin melambatnya pertumbuhan ekspor dan tertekannya nilai tukar rupiah.
Margin Safety Investasi
Efek tular dari perekonomian dan pasar keuangan global ini juga akan memberikan sentimen dan tekanan pada investasi di pasar modal. Lihat saja, memasuki Desmber 2022, pasar saham cenderung bergejolak dan tertekan. Situasi yang sama juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN).