Aku menengok keluar jendela kamarku, aku melihat ayahku membawa sekop itu. Ku lihat air mata mengalir di wajahnya. Isak tangisnya tertahan, keluar dari mulutnya dengan berat dan parau. Ia mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya ke tanah. Mata sekop itu merobek tanah seakan-akan tanah itu adalah daging segar. Tak lama kemudian hujan pun menyirami seluruh tanah, namun ayahku tetap saya menggali tanpa henti.
Aku yang melihat kejadian janggal tersebut terheran heran. Rasa curiga, penasaran, dan takut yang ada dalam diriku bercampur aduk. Aku memberanikan diri untuk mencari tau sebenarnya ada peristiwa apa yang terjadi. Dengan perasaan takut, aku perlahan membuka daun pintu kamarku. Kondisi rumah saat itu sangat gelap dan sunyi membuat bulu kudukku berdiri. Tiba -- tiba terdengar suara pintu yang terbuka dan suara langkah yang megarah masuk ke rumahku. Aku bergegas sembunyi menuju samping rak hiasan supaya tak terlihat sedang memata -- matai.
Pada malam yang gelap dan sunyi itu terdengar suara petir yang menyambar sangat kencang sehingga aku terkejut dan tak sengaja menyenggol rak hiasan yang ada di belakangku. Aku pun tak sengaja menyenggol vas bunga kesayangan ibuku. Akhirnya jatuh dan pecah sehingga menimbulkan suara yang keras dan mengejutkan.
"Hei, nak!" Seperti ada yang memanggilku dari belakang.
Aku pun segera menoleh dan kudapati seorang kakek dengan baju serba putih. Kuhampiri dengan pelan-pelan, walaupun dalam benakku aku sangat takut. Aku kira orang yang tadi masuk adalah ayahku, namun dugaanku salah total, bahkan aku tak kenal dengan kakek tua ini.
"Ada apa, Bu?" Wajahku mulai memperlihatkan orang yang sedang bingung dan penuh tana tanya. Ibu cantik tersebut hanya diam saja dan terus berjalan ke arah yang tidak aku tau. Ternyata oh ternyata, ibu tersebut membawaku menuju loteng rumah.
Tak heran jika aku belum mengetahui seluruh ruangan di rumah ini karena aku baru saja pindah dari Jakarta setelah selesai kuliah ke daerah Weleri tempat ayahku sekarang tinggal. Aku terkejut dan bingung mengapa ibu ini membawaku ke loteng rumah. Saat aku sedang menengok ke arah belakang, tiba -- tiba kakek itu menghilang entah kemana. Aku pun semakin ketakutan, namun karena rasa penasaran ini, aku memberanikan diri untuk mengetahui ada apa di atas loteng tersebut dan mengapa kakek itu menuntunku menuju kesini. Di sana aku melihat ada 7 kepala wanita cantik yang dimasukkan ke dalam tabung air keras seperti sedang diawetkan. Aku terkejut dan heran sesungguhnya siapa yang telah memenggal kepala wanita -- wanita cantik itu. Aku curiga pada ayahku yang bertingkah aneh setelah lama kita tak bertemu, namun aku juga curiga pada kakek tua yang telah membawaku ke loteng ini.
Malam pun berlalu, aku mendapat bunga tidur yang begitu mengerikan. Aku pun bangun dengan terengah engah seperti orang yang baru usai latihan lari marathon. Mungkin aku mendapat mimpi buruk karena peristiwa semalam yang terus mengganggu pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bangun dari tempat tidur dan bergegas pergi menuju ke rumah temanku karena aku yang tak nyaman berlama -- lama di rumah ini.
Ketika aku menceritakan semua tingkah aneh yang ayahku lakukan dan apa isi yang ada di loteng rumahku, temanku mencoba menenangkanku.
"Tenang saja Nik, menurutku mimpimu itu belum tentu menjadi kenyataan. Bisa jadi itu hanya bunga tidur karena kamu terlalu ketakukan dan memikir hal yang aneh -- aneh sehingga kamu memiliki asumsi buruk terhadap rumah tersebut ataupun ayahmu." Rian menenangkanku dengan suara rendahnya yang sangat menyapu jiwa.
Spontan aku pun langsung memeluk Rian karena aku sungguh takut. Ya, aku memang merasa sangat nyaman menceritakan segala keluh kesahku padanya. Seiring berjalannya waktu, Rian juga menjadi sosok yang sangat bijaksana dalam menyelesaikan segala permasalahan. Rupanya, aku sudah mulai menykainya.