Kali ini, saya mau mengulas secara singkat novel Tan: Gerilya Bawah Tanah, sekuel Tan: Sebuah Novel yang ditulis oleh Hendri Teja. Novel setebal 507 halaman ini diterbitkan oleh Javanica, satu penerbit yang kesohor menerbitkan fiksi-fiksi bertema sejarah dan budaya.
Kenapa saya kepikiran untuk review novel ini? Pertama, saya baru saja tuntas membacanya. Kedua,kemarin waktu peringatan Hari Pahlawan Nasional, saya dapat kabar keluarga Tan Malaka dan para aktivis menggugat pemerintah supaya memberikan hak Tan Malaka sebagai pahlawan nasional, diantaranya memasukan nama Tan Malaka dalam buku sejarah, dan urusan perawatan makamnya di Selopanggung yang konon terabaikan itu.
Jujur, saya sendiri baru ngeh kalau Bapak Republik Indonesia ini sudah diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 1963. Bukan apa-apa, sebagai generasi millineal, waktu sekolah dulu saya memang tidak tahu menahu perihal bapak bangsa yang satu ini.
Novel ini berkisah tentang para "senior"-nya Sukarno; para dispora Hindia Belanda yang dikejar-kejar polisi intelejen Gubermen setelah gagalnya pemberontakan rakyat 1926-1927. Tiga orang di antaranya: Tan Malaka, Djamaluddin Tamin dan Subakat kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) untuk melanjutkan perjuangan.
Para dispora ini berpencar ke ke negeri-negeri koloni Asia Tenggara dan Tiongkok. Mereka menyelundup dengan menggunakan paspor palsu dan nama-nama palsu. Di bawah pengejaran polisi-polisi intelejen Barat mereka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari luar negeri. Dan pengejaran ini amat berbekas di hati Tan Malaka.
"Pelarian ini, lambat-lambat telah mengikis dirinya sendiri. Tan pelan-pelan terbenam dalam lumpur 24 identitas samaran, sehingga setiap kali terbangun dari tidur, tindakan pertamanya adalah mengingat-ingat: jadi siapa dia ini hari?"
Membaca novel ini seperti membaca kisah spionase ala James Bond zaman dulu. Ada aksi kejar-kejaran dan tembak-menembak. Ada kerinduan akan tanah air yang tidak pernah kesampaian. Ada pengkhianatan, cinta dan persahabatan.
Saya sendiri susah membayangkan kehidupan seperti itu. Bagaimana seseorang seperti Tan Malaka dan kawan-kawannya bisa hidup dalam banyak nama samaran, berpindah-pindah negara, tetapi tetap memikirkan kemerdekaan Indonesia. Padahal, mereka bisa memilih untuk mencari kemapanan di negeri asing itu. Belum lagi dilema antara cinta dan perjuangan.
 "Lelaki kaum pergerakan hanya layak dicintai, bukan dinikahi. Ibarat burung, jika kakinya diikat sebentar, dia akan canggung terbang tinggi. Tetapi jika kakinya diikat terlampau lama, dadanya akan meledak akibat gejolak hasrat."
Bagaimana kalau ini terjadi di zaman sekarang? Menjadi dispora karena diusir dari negeri sendiri? Pulang ke tanah air dengan ancaman ditangkap? Kalau saya mungkin sudah say goodbye for Indonesia. Kita mungkin langsung sinis, dan balas ngotot: "memang negara cuma Indonesia saja?" Lalu mulailah kita membangun kehidupan baru di negeri-negeri baru.
Tidak bisa tidak! Ada sebagian dispora yang sudah merasa nyaman hidup di luar negeri, sehingga tidak mau lagi pulang ke tanah air. Mungkin alasannya, tanah air kurang mendukung ambisi mereka. Padahal para dispora ini biasanya memiliki pikiran terbuka, punya otak brilian, sehingga kalau mereka pulang pasti bisa membawa kemajuan bagi Indonesia.