Kekerasan seksual adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Pengesahan UU TPKS adalah langkah maju, namun masih banyak yang harus dilakukan. Kita semua harus bersatu untuk melawan budaya patriarki dan stigma yang melanggengkan kekerasan seksual. Hanya dengan upaya kolektif dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan masyarakat yang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi semua.
Komnas Perempuan mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019, naik 6% dari tahun sebelumnya. Angka ini kemungkinan jauh lebih besar karena banyak korban yang memilih diam karena stigma dan trauma. Realitas ini bagaikan bom waktu yang siap meledak. Kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga mencederai martabat dan masa depan korban. Dampaknya tak hanya fisik, tetapi juga psikis dan sosial, yang dapat menghantui korban seumur hidup. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 12 April 2022. Undang-undang ini menjadi angin segar bagi penegakan hukum dan perlindungan korban.
Namun, pengesahan UU TPKS hanyalah awal. Tantangan terbesar adalah implementasinya. Diperlukan edukasi masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual, membangun sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses, serta memastikan aparat penegak hukum mampu menangani kasus dengan sensitif dan profesional. Masyarakat sipil juga harus bahu-membahu dalam upaya ini.Â
Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak perlu memperkuat jaringannya dan meningkatkan kapasitasnya dalam memberikan pendampingan dan layanan bagi korban. Peran keluarga pun tak kalah penting. Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka dan edukasi seks yang komprehensif kepada anak-anak mereka. Menanamkan nilai-nilai saling menghormati dan kesetaraan gender sejak dini menjadi kunci dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Menilik Kasus Kekerasan Seksual
Salah satu kasus yang pernah dipantau oleh Komnas Perempuan terkait kasus kekerasan seksual adalah kasus yang terjadi  pada 13 santriwati  pondok pesantren di Bandung  dengan pelaku HW, guru pesantren, yang menjadi sorotan publik sejak kasusnya disiarkan di berbagai media massa di Tanah Air pada 2021.Â
Kasus kekerasan seksual 13 santriwati merupakan bagian dari fenomena gunung es terkait kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama. Kasusnya sendiri sudah berlangsunng sejak 2016 dan baru terungkap pada 2021. Sembilan bayi lahir akibat kekerasan seksual tersebut.
Sejak kasus-kasusnya terungkap, wacana hukuman mati muncul seiring tuntutan publik untuk pemenuhan hak-hak 13 santriwati korban kekerasan seksual. Wacana tersebut tak hanya bergulir di media massa, juga menjadi topik perbincangan dalam berbagai webinar. Komnas Perempuan  menerima permintaan wawancara dari berbagai media dan menjadi narasumber yang diselenggarakan lembaga pendidikan tinggi dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuan juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan  seksual.Â
Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, publik yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat. Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Di tengah-tengah kerentanan-kerentanan ini, Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya untuk bersuara serta pendamping yang setia memfasilitasi agar kebenaran kasus terungkap.