Tindakan kekerasan merupakan perbuatan tercela yang dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini dikarenakan tindakan kekerasan dapat menyebabkan berbagai akibat bagi orang yang mengalaminya seperti trauma, terluka, cedera, dan berbagai  dampak lainnya bagi korban. Kekerasan bisa terjadi dalam bentuk fisik maupun verbal. Bentuk kekerasan fisik dilakukan secara langsung terhadap fisik seseorang. Sedangkan kekerasan verbal dilakukan dengan kata-kata seperti penghinaan, penggunaan kata-kata yang merendahkan, mengejek, menyebut nama-nama yang tidak pantas, martabat dan harga diri anak, mempermalukan, dan sebagainya.
Kekerasan verbal sering kali dipandang sebagai permasalahan remeh temeh (Desi Sommaliagustina, 2023). Banyak orang yang belum menyadari bahwa dirinya mengalami kekerasan verbal misalnya dilecehkan dengan kata-kata. Kekerasan verbal merupakan kekerasan tanpa menyentuh fisik tetapi membuat korban merasa tidak nyaman. Pendapat lain menyebutkan bahwa pengertian tentang kekerasan yang termasuk ke dalam Kekerasan verbal adalah kekerasan yang mana cara dilakukannya berupa perilaku verbal yakni pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, atau juga merendahkan.
Kekerasan verbal yang terjadi banyak dilakukan tanpa sadar atau tidak disengaja. Hal ini terjadi disebabkan orang-orang terkadang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah kekerasan karena menganggap hal itu sudah biasa dan sebatas gurauan semata. Kekerasan verbal tidak berdampak pada kerusakan fisik, tetapi berakibat pada luka psikis bagi korbannya. Oleh sebab itu, kekerasan verbal ini sering digolongkan juga pada kekerasan psikologis (psychological violence).Â
Kekerasan verbal dapat menyebabkan ketidakstabilan suasana psikologis bagi penerimanya, seperti takut, kecewa, rendah diri, minder, patah hati, frustrasi, tertekan (stress), sakit hati, murung, apatis, tidak peduli, bingung, malu, benci, dendam, ekstrem, radikal, agresif, marah, depresi, gila, dan sebagainya.Termasuk ke dalam kekerasan verbal lainnya adalah pelecehan seksual yang tidak hanya terjadi melalui kontak secara langsung. Namun, pelecehan seksual sangat mungkin terjadi melalui media komunikasi digital. Kemudahan berkomunikasi melalui media komunikasi digital telah membuka lebar peluang terjadinya kejahatan di dunia maya, salah satunya adalah pelecehan seksual.
Pelecehan seksual itu terjadi baik berupa ucapan tak senonoh melalui telepon, mengirim konten porno, maupun berkomentar tak senonoh melalui media sosial. Selain pelecehan seksual yang dilakukan secara verbal, kekerasan verbal lainnya adalah bullying. Bullying merupakan perilaku agresif yang tidak diinginkan dan dilakukan secara berulang. Bentuk bullying verbal ini dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik yang kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Bullying dengan cara pelecehan verbal ini merupakan suatu bentuk kekerasan. Dampaknya korban yang diintimidasi memiliki trauma dan masalah serius berkepanjangan dengan pelaku. Bullying mencakup tindakan seperti membuat ancaman, menyebarkan desas-desus, menyerang seseorang secara fisik atau verbal, dan mengucilkan seseorang dari kelompok.
Pelecehan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi menjadi masalah yang kian mendesak untuk diselesaikan. Terkuaknya berbagai dugaan pelecehan seksual yang dialami para mahasiswi di lingkungan akademik memberikan warning kepada kita, bahwa perguruan tinggi yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban, nyatanya sudah tak lagi menjadi ruang aman bagi perempuan.Baru-baru ini pelecehan seksual terjadi di Universitas Andalas Padang (Unand), Sumatera Barat. Â Pelakunya, disebut-sebut oknum dosen di Fakultas Hukum berinisial "Z". Isu ini pun viral setelah akun instagram info Unand memposting foto dengan watermark "Jangan Pegang Pegang Saya Pak".
Kasus diatas bisa dikategorikan kepada catcalling. catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis. Terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata. Catcalling dalam prakteknya dapat berbentuk nada, yaitu suara, ucapan, siulan dan bisa juga ciuman dari jauh, bisa berupa komentar pada badan atau kalimat yang bertujuan melecehkan kepada orang yang lewat di jalanan atau berada di tempat umum dan membuat orang yang bersangkutan merasa tidak nyaman atau terancam.Â
Selain itu catcalling dianggap oleh pelaku sebagai candaan atau lelucon untuk menarik perhatian korban, dan tidak menyadari bahwa perilaku tersebut menimbulkkan ketidaknyamanan kepada korban, korban akan merasa pergerakannya diruang publik terbatas, bahkan merasa tidak aman. Terkait kasus tersebut, menurut saya pelecehan verbal terbuka terhadap perempuan, perilaku catcalling di lingkungan Perguruan Tinggi harus menjadi perhatian serius oleh semua pihak. Para korban yang sebagian besar perempuan mengalami pelecehan catcalling di ruang publik seperti di jalanan atau fasilitas umum lainnya. Pengaruh relasi kuasa pada perilaku catcalling. Pelaku merasa berada pada posisi superior sehingga berhak melakukan sesukanya tanpa mempertimbangkan perasaan korban. Ini harus menjadi perhatian khusus dan tentunya korban yang seharusnya mendapat rasa aman dan perlindungan namun malah sebaliknya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H