Mohon tunggu...
Desi Alvilia Kurniawati
Desi Alvilia Kurniawati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan

22 Agustus 2023   23:25 Diperbarui: 23 Agustus 2023   00:05 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rokok merupakan salah satu hal yang umum di Indonesia yang dapat dengan mudah kita temui dimanapun. Rokok di Indonesia sendiri dijual bebas dan banyak dikonsumsi oleh segala kalangan, dari yang muda hingga yang tua. Kita sendiri tahu bahwa penggunaan rokok ini sangat berbahaya bagi tubuh kita sendiri, baik bagi pemakai maupun yang menghirup. Efek dari perokok yang paling pertama dan sering merusak organ tubuh akibat asap rokok yang kita hirup adalah organ tubuh paru-paru. Salah satu dampak negatif rokok bagi tubuh yaitu menyebabkan penyakit Paru-Paru Obstruktif Kronis (PPOK). 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia. Sebanyak 3,23 juta kematian di tahun 2019 dengan merokok sebagai penyebab utamanya. Di Indonesia berdasarkan data riset kesehatan dasar 2013 prevalensi ppok mencapai 3,7% atau sekitar 9,2 juta jiwa yang mengalami PPOK.

Bahkan, pada bungkus rokok sendiri maupun pada iklan di televisi juga terdapat peringatan bahwa rokok dapat membunuhmu. Namun kesadaran akan bahaya rokok di lingkungan masyarakat masih kurang sehingga masih banyak orang yang mengonsumsi rokok dan mengabaikan peringatan yang membahayakan diri sendiri.

Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Hal ini menandakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah perokok di Indonesia mengalami peningkatan.

Selain itu, Wamenkes menyebutkan persentase keterpaparan asap rokok di beberapa tempat tempat umum seperti di restoran, rumah tangga, gedung pemerintah, tempat kerja, transportasi umum, dan bahkan di fasilitas pelayanan kesehatan juga terlihat masih tinggi.

Menghadapi permasalahan ini, pemerintah mencoba melakukan pengendalian tingginya konsumsi rokok dengan menaikkan harga rokok melalui pengenaan pajak atas rokok. Pajak rokok adalah pungutan yang bersamaan dengan cukai rokok oleh pemerintah daerah. Pajak rokok diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pasal 26 sampai dengan pasal 31. Dalam Pasal 31 UU PDRD menyebutkan pungutan atas pajak rokok dialokasikan (earmarked) paling sedikit sebesar 50% dan digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan.

Untuk mengatasi alokasi dana tersebut, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek menerbitkan payung hukum, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 53 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan masyarakat.

Kebijakan ini dikritik oleh kelompok yang mengkampanyekan Gerakan antirokok, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan pemerintah seolah menyuruh rakyat merokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dengan mengalokasikan pajak rokok untuk badan tersebut dan juga menyuruh rakyat untuk sakit karena merokok.

Dengan adanya peraturan dan kebijakan tersebut, membuat seorang perokok aktif akan terus merokok karena telah merasa bahwa dia telah memberikan dana pada pelayanan kesehatan melalui pajak rokok. Akan tetapi, kita lupa bahwa rokok sendiri juga dapat menyebabkan banyak penyakit kronis, seperti kanker paru-paru, kanker mulut, dan penyakit kronis lainnya yang dimana harga pengobatan untuk penyakit kronis tidaklah murah. Selain itu, penerimaan pajak rokok belum sebanding dengan efek negatif rokok bagi kesehatan masyarakat, baik yang mengkonsumsi langsung maupun bagi yang merasakan dampak dari penggunaan rokok. Oleh karena itu sebaiknya pemerintah tidak hanya memberikan kebijakan mengenai pajak rokok untuk perokok tetapi juga mencoba untuk mengurangi dan menghilangkan jumlah perokok di Indonesia agar tercapai Indonesia tanpa rokok. 

Referensi :

https://www.hukumonline.com/berita/a/beginilah-pro-kontra-penggunaan-pajak-rokok-untuk-bpjs-kesehatan-lt5ba8d6fd841c9/?page=2

https://bakuda.bangkaselatankab.go.id/post/detail/311-pajak-rokok-dan-pelayanan-kesehatan-masyarakat-oleh-abdul-rahman

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220601/4440021/temuan-survei-gats-perokok-dewasa-di-indonesia-naik-10-tahun-terakhir/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun