Awal Januari, harga Premium dan Solar turun. Harga Premium turun menjadi Rp 7.600 perliter dan harga Solar turun menjadi Rp 7.250 perliter.Masyarakat berharap dengan turunnya harga premium dan solar maka harga-harga barang dan ongkos transportasi akan ikut turun. Namun faktanya, ada sebagian kecil yang turun, tetapi lebih banyak yang tidak turun. Ternyata efek turunnya harga Premium dan Solar itupun semakin tidak terasa dikarenakan naiknya tarif listrik dan harga gas elpiji 12 kg. PT Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg sebesar Rp 1.500 per Kg sehingga harga gas elpiji 12 kg pun naik dari Rp 114.900 per tabung menjadi Rp 134.700 per tabung. Harga inipun akan terus dinaikkan setiap tiga bulan sekali.
Selain naiknya harga elpiji 12kg ada yang patut diwaspadai oleh masyarakat Indonesia yakni liberalisasi BBM. Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (2/1) sejak 1 Januari 2015 pemerintah menghapus subsidi BBM. menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, harga premium bisa naik lagi jika harga minyak dunia kembali melonjak. “Intinya kita lepaskan ke harga keekonomian. Pemerintah sudah tidak menyubsidi. Jadi kalau harga keekonomian turun, kita turunkan; kalau harga keekonomian naik, ya dinaikkan,” kata Sofyan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Senin (2/1/2015). Inilah jebakan penurunan harga yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat. Artinya jika minyak dunia kembali naik maka harga premium akan ikut naik pula mengikuti harga minyak dunia.
Dari upaya liberalisasi BBM ini kita bisa melihat adanya upaya lepas tangan pemerintah atas tanggung jawab mereka mengayomi dan mengurusi rakyatnya. Rakyat secara umum dibiarkan menanggung sendiri penderitaan hidup akibat kenaikan harga BBM. Bahkan rakyat diberi beban yang lebih berat lagi dengan tarif listrik dan harga elpiji yang naik. Padahal pemerintah seharusnya menjadi pengayom dan pengatur seluruh urusan rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas amanahnya tersebut. Selain itu, dalam Islam BBM termasuk kepemilikan umum yang harusnya dikembalikan kepada rakyat. Negara boleh meminta ganti atas biaya yang dikeluarkan untuk mengolah BBM namun tidak boleh menarif atas bahan mentah yang diolahnya. Namun tidak demikian rupanya dengan sistem aturan yang berlaku di negeri ini sehingga selama ini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah termasuk dalam kaitannya dengan BBM tidak sedikitpun berpihak pada rakyat. Jika demikian, masih layakkah kita mempertahankan sistem aturan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H