Negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya terdiri dari Kepulauan Nusantara yang membentang luas sepanjang garis Khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke memiliki beraneka corak kebudayaan dan adat istiadat yang beraneka ragam, yang mewujudkan bangunan "Bhinneka Tunggal Ika".
Pertanyaan pertama yang timbul adalah seberapa jauh kemungkinan pemanfaatan hukum adat yang tersebar dan beranekaragam tersebut sebagai sumber hukum nasional sangatlah agar operasionalisasi penerapan hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dapat berlaku efektif di masyarakat kita dengan kemajemukan hukum adat tersebut?
Maka melalui berbagai kegiatan penelitian/kajian/pengembangan hukum dalam rangkaian pembangunan hukum nasional perlu dicari dan ditarik suatu prinsip yang dapat berlaku secara nasional.
Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari sistem hukum nasional, yang eksistensinya sejak jaman kolonial secara tegas dimaksudkan sebagai aturan hukum bagi golongan pribumi (Pasal 131 IS).
Setelah Merdeka, selain masih dianut pluralisme hukum berdasarkan aturan peralihan Pasal II UUD 1945, yang antara lain masih menempatkan hukum adat sebagai hukum pribumi. Pancasila dan UUD 1945 telah memberi landasan untuk mengangkat hukum adat sebagai sumber hukum nasional. Dalam arti menarik segi-segi baik dari hukum adat itu dan membuang segi-segi yang tidak relevan dengan perkembangan kesadaran , hukum masyarakat dalam pembangunan sebagaimana dengan perkembangan Iptek.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data lengkap, akurat, dapat dipercaya, up to date dan obyektif di masyarakat tentang peranan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum, dan langkah kepustakaan melalui penelaahan dan penelusuran dasar-dasar berlakunya hukum tidak tertulis bertolak dari penggarisan UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, (UUD 1945 menegaskan bahwa selain hukum dasar yang tertulis diakui juga adanya hukum dasar yang tidak tertulis). Demikian pula Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada undang-undangnya, hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Bahkan ditegaskan oleh undang-undang bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang berbentuk adat istiadat setempat. Hal inilah yang mendorong digunakannya hukum tak tertulis sebagai sumber hukum.
- Batasan-batasan Hukum Tidak TertulisÂ
Dalam kepustakaan hukum dikenal adanya sumber hukum yang selalu menjadi pegangan para hakim dalam memutus suatu perkara, pada umumnya sumber hukum meliputi : Hukum Tertulis, Hukum Kebiasaan (adat-istiadat setempat), Prinsip-prinsip Hukum Umum dan pendapat para ahli (Legal Opinion/opinion Dictarum). Batasan mengenai hukum tidak tertulis bersumber pada penjelasan UUD 1945 yang menyatakan:
"Undang-undang suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya.... berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah peraturan-peraturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis".
Penjelasan UUD 1945 memberi landasan terhadap konvensi ketatanegaraan. Sedangkan berlakunya hukum adat sejak pemerintahan kolonial diakui oleh Pasal 131 I.S. yang sampai saat ini masih dianggap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Prof. Dr. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa baik menurut UUDS 1950 maupun UUD 1945, masih belum dibentuk peraturan yang menurut dasar berlakunya hukum adat, maka dasar hukum yang tercantum dalam Pasal 131 ayat (2) (b) I.S. masih tetap berlaku.
Selanjutnya Soerjono Soekanto menyatakan :
- Dasar perundang-undangan bagi berlakunya hukum adat untuk peradilan adat diatur dalam Pasal 3 R.O.
- Dasar perundang-undangan daerah Swapraja tercantum dalam Pasal 13 (2) Stbl 1938 No. 592.
- Dasar perundang-undangan bagi para hakim adat di Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 3 a R. O.
Ter Haar Bzn mengemukakan pendapat mengenai pentingnya hakim memperhatikan hukum adat bahwa setiap hakim yang mengambil putusan menurut hukum adat untuk dapat menjalankan putusan dengan baik, haruslah menginsyafi sedalam-dalamnya stelsel hukum adat, kenyataan sosial dan tuntutan keadilan serta kemanusiaan.