Kesehatan mental itu sebetulnya sangat penting untuk diperhatikan. Karena, setiap tahunnya terdapat 1 dari 4 orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Menurut WHO, suicide is the second leading cause of the death, among 15 to 29 years olds.
Jika kita berbicara mengenai Indonesia, sayangnya isu kesehatan mental ini masih dianggap sepele. Jika ada seseorang yang sedang mengalami depresi, selalu dianggap orang tersebut lemah, kurangnya iman atau kurang dekat dengan Tuhannya, bahkan hingga ada yang menyarankan untuk ruqyah.
Lalu jika kita mendengar berita mengenai orang yang bunuh diri, justru orang yang bunuh diri tersebut malah menjadi korban, seperti aqidahnya dipermalukan, dibicarakan tentang hal yang tidak benar, dikomentari mengenai hal yang tidak benar. Padahal sebenarnya, dengan orang tersebut bunuh diri saja, kita seharusnya sudah mendapatkan hint seberapa berat beban yang harus ia tanggung ketika masih hidup dulu. Seharusnya kita bisa lebih berempati.
Bukannya membicarakan masalah dan mencoba mencari solusi untuk masalah ini, masyarakat kita justru malah membiasakan diri terjebak oleh yang namanya toxic positivity. Pasti diantara sebagian orang pernah mengalami hal ini. Misalnya, kita sedang ada masalah, lalu kita curhat pada teman kita, namun respon teman kita ini dengan "sabar ya", "yaudah lah gapapa namanya juga hidup", "berpikir positif aja", "coba lebih bersyukur deh", "kamu mah masih mending lah aku", atau mungkin sebenarnya diantara kita juga terkadang berada di posisi teman kita tersebut.
Kita menyuruh teman kita ini untuk mengubur dalam perasaan dan emosi negatif mereka. Ketika mereka sedang mempunyai masalah. Kita tentunya pernah ada diposisi dimana kita harus menekan emosi kita, hanya karena kita tidak mau dibilang tukang marah-marah atau tukang mengeluh.
Semestinya perasaan manusia itu tidak kita kategorikan segampang itu. Perasaan negatif yang kita rasakan itu tidak selamanya buruk. Bahkan dengan kita jujur pada diri kita sendiri atas apa yang kita rasakan, entah itu marah, sedih, kecewa, membuat kita menjadi lebih tau bagaimana cara untuk merespon perasaan tersebut dan juga merespon keadaan pada saat itu. Kita juga akan lebih mengerti bantuan apa yang kita butuhkan untuk menjaga kesehatan mental kita.
Denial terhadap perasaan kita sendiri itu ternyata sangat tidak sehat untuk dilakukan. Pura-pura selalu happy, pura-pura untuk selalu positive, itu malah akan membuat kita jadi tertekan, dan yang paling penting yaitu masalah kita tidak akan selesai. Bahkan akan menjadi semakin parah, karena setiap kita dihadapkan oleh masalah, lalu kita merasakan semua perasaan negatif tersebut, yang semua itu kita kubur dalam-dalam, lama kelamaan hal itu bisa meledak.
Hal yang perlu diingat adalah, mengakui, membuktikan, dan memberi perhatian pada emosi kita sebenarnya adalah tindakan self love dan cara bagi kita untuk berubah. Nah mulai sekarang, jika semisal kita sedang merasa kesal, marah, sedih, kecewa pada seseorang atau keadaan, itu bukanlah suatu masalah,kita tidak perlu merasa jika hal itu adalah hal yang buruk. It's totally normal, karena kita juga manusia, yang bisa bereaksi terhadap sesuatu hal apapun.
Dengan memiliki emosi negatif ini, tidak membuat kita menjadi orang yang negatif. Yang juga perlu diingat adalah, ketika kita sedang menjadi tempat curhat teman, stop with this positive mantra, karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa toxic positivity yang kita berikan pada teman kita itu sebenarnya tidak membuat masalah teman kita selesai. So instead, be a good listener and validate their feeling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H