Gemuruh hujan dan kilatan petir membawa ingatatanku, 2 tahun sudah lamanya aku merantau, terlalu nyaman aku di tempat yang baru enggan rasanya untuk pulang. Dingingnya cuaca, nyatanya membangkitkan kenangan terhadap kampung halaman, tapi aku kokohkan kembali alasan tetap tinggal, karna sebuah harapan dan kepercayaan yang telah lama aku tanamkan, jangan pulang, tempat itu pernah mengecewakaku terlalu dalam. Bukannya tidak rindu, namun tempat baru ini memberiku kenyamanan, memberiku harapan, memberikan kehormatan yang tidak aku dapatkan di tanah kelahiran.
Suatu pagi yang sama saja seperti biasanya, aku pertama kali melihat wajah ceria. Manis tentu saja itu kata yang tepat untuk senyum di bibirnya. Profesionalisme kerja mengantarkan aku menghampiri dan menyapanya, dan ternyata kejutan pagi ini dia berasal dari tanah kelahiraku, aku rasanya dapat mencium aroma tanah yang disiram air hujan setelah kemarau panjang, dia menjadi istimewa detik itu juga.
Sebuah hal yang biasa bertukar identitas dengan seseorang, tapi dia berbeda. Dia membangkitkan kenangan, dia yang aku pikir jalan menuju masa depan, bukan karna manis senyuman tapi karna dia terlihat antusias dengan perjumpaan. Kuperhatikan dari kejauhan, iya hanya dari kejauhan nampak dia pribadi yang hangat, seperti pelukan di malam-malam saat musim penghujan. Khas sekali sifat itu, seperti pembawaanya yang menarik perhatian lawan jenis untuk tidak berpaling melihat parasnya.
Ternyata ini tidak berlangsung lama, akhirnya dia pulang membawa rasa penasaranku akan sebuah senyuman, namun dia pasti tidak tahu, satu gambar saja dari senyumannya mengobati hausnya mataku untuk melihatnya. Aku beranikan diri untuk menghubunginya, aku pilih bahasa yang paling sederhana untuk memanggilnya. Seperti yang aku duga, dia tidak membiarkan orang lain menunggu lama, dia merespon dengan cepat dan hangat.
Komunikasi membuatku semakin dekat dan semakin ingin membawanya dalam fantasi di malam hari, ya fantasi seorang laki-laki. Siapa yang tidak ingin berfantasi dengannya, indah bagian-bagian tubuhnya yang tidak diumbar dengan vulgar namun sudah cukup untuk menumbuhkan hasrat liar yang kembali bergelora setelah lama tidak dinyalakan.
Kepercayaan diri macam apa ini? Atau ini hanya implementasi dari kejenuhan yang sudah menggakar ataukah muncul benih-benih yang akan disemai saat musim libur tiba? Ah, terlalu panjang aku berpikir, aku hanya sedang terpesona, mungkin akan hilang dengan sendirinya. Namun ternyata, komunikasi yang mulus, perasaan yang mulai terungkap lalu makin hari makin memiliki ekpektasi.
Suatu pagi ditempatnya, namun sudah di atas kepala matahari di tempatku, dia menceritakan seleranya tentang makanan, makanan yang telah lama aku rindukan. Aku memikirkannya dan selera makannya. Aku mulai merindu, merindu masa kecilku.
Dia berhasil membuatku ingin pulang, bukan saja untuk memeluknya tapi memenuhi selera makanan yang sudah lama aku tahan. Aku menunggu beberapa saat, ah mungkin ini hanya emosiku atau hanya alasan untuk bertemu. Aku sibukkan diri dengan agenda-agenda rapatku, namun dia terus mengusikku. Aq ambil ponsel yang selalu tersimpan rapi di sakuku, aku pesan tiket pesawat untuk pulang tanpa mengabarinya. Beberapa kali penerbangan, energi yang lumayan terkuras, namun kerinduan juga yang menguatkan. Aku pulang, untuk melihat senyummu, memeluk dan mencium aroma tubuhmu dan tentunya saja makan bersamamu, gadis manisku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H