Diskursus mengenai hak kerap menjadi perbincangan panas di kalangan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya. Hak, terutama hak asasi manusia, melekat di setiap individu.Â
Aspek individu ini adalah hal yang melahirkan wacana bahwa hak merupakan hal yang individualistis, terutama apabila bersinggungan dengan hak-hak orang lain. Hal tersebut adalah alasan mengapa hak sering menjadi bahan perdebatan di masyarakat. Salah satu negara yang paling disorot mengenai hak adalah Amerika Serikat.Â
Amerika Serikat memiliki banyak undang-undang yang mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh penduduknya. Undang-undang tersebut melindungi hak-hak penduduk dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari hak untuk memiliki senjata hingga hak reproduktif.
Hak reproduktif merujuk kepada seperangkat hak yang mencakup hak-hak yang berkaitan dengan reproduksi manusia. Menurut World Health Organization, hak reproduksi didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh semua pasangan dan individu untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab atas jumlah dan waktu kelahiran dari anak-anak mereka dengan disertai aksesibilitas informasi agar mendapatkan kesehatan reproduksi tanpa adanya unsur diskriminasi, paksaan, dan kekerasan.Â
Di Amerika Serikat, hak reproduktif meliputi hak untuk melakukan aborsi dan umumnya selaras dengan ideologi milik Democratic Party dan feminis. Dewasa ini, hak reproduktif di Amerika Serikat menjadi pusat pembicaraan karena eksistensinya terancam. Hal tersebut adalah karena pada Mei 2022, terdapat kabar bahwa Roe v. Wade, keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1973 yang menjaga hak aborsi di tingkat konstitusional, akan ditarik kembali.
Penarikan Roe v. Wade berimplikasi pada terancamnya hak aborsi di negara-negara bagian Amerika Serikat yang konservatif karena keputusan untuk melegalkan aborsi akan berada di tangan setiap negara bagian, bukan di tingkat konstitusional lagi. Akan tetapi, hak aborsi sudah hampir punah di salah satu negara bagian yang paling konservatif, yaitu Texas yang ironisnya merupakan negara bagian asal dari Roe v. Wade sebelum diajukan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Beberapa bulan sebelum terdengarnya wacana akan pencabutan Roe v. Wade, Texas telah menetapkan RUU Senat 8 sebagai undang-undang yang berlaku di Texas sejak 1 September 2021. RUU Senat 8 dengan nama Texas Heartbeat Act adalah undang-undang di Texas yang melarang aborsi setelah terdeteksinya aktivitas jantung janin, sekitar 5-6 minggu pertama.Â
Undang-undang ini dinilai sangat kontroversial karena banyak yang menilai bahwa enam minggu adalah waktu yang terlalu cepat untuk mengetahui kehamilan. Setelah waktu enam minggu, undang-undang ini hanya memberikan pengecualian bagi kondisi kedaruratan medis, tidak bagi korban inses dan pemerkosaan.
Texas Heartbeat Act dinilai tidak konstitusional oleh pengadilan karena tidak melindungi korban dan kebebasan wanita. Setelah Texas Heartbeat Act disahkan, persepsi publik mengenai hal ini bersifat campur aduk karena banyak yang mendukung dan banyak juga yang tidak. Hal tersebut adalah karena pada dasarnya, hak aborsi merupakan hak yang kontroversial karena juga menyinggung hak dari anak.Â
Menurut riset yang dilakukan oleh Monmouth University, 54% dari masyarakat menyatakan bahwa mereka tidak setuju akan pengesahan ini. Joe Biden, presiden Amerika Serikat, menyatakan bahwa Texas Heartbeat Act melanggar hak konstitusional perempuan sebagaimana yang telah ditetapkan di Roe v. Wade.Â
Menurut Biden, pengesahan ini mengganggu akses perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan, terutama bagi individu dengan pendapatan rendah yang mungkin tidak memiliki akses informasi dan uang yang cukup untuk melakukan pemeriksaan atau aborsi.Â
Meskipun presiden Amerika Serikat saat ini tidak setuju dengan keberadaan Texas Heartbeat Act, Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak dapat merubah atau melarang Texas untuk tetap menerapkan undang-undang ini. Hal tersebut adalah karena penegakkan undang-undang ini tidak dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh individu yang menggugat individu lain yang melakukan atau membantu melakukan aborsi setelah enam minggu kehamilan.
Lantas, bagaimana jika dibandingkan dengan kondisi aborsi di Indonesia? Tidak hanya di Amerika Serikat, aborsi juga menjadi topik yang sedang hangat dan kontroversial untuk diperbincangkan karena ditemukannya tujuh janin dalam kotak makan barusan ini. Aborsi di Indonesia merupakan hal yang ilegal dan hanya boleh dilakukan di bawah enam minggu kehamilan bagi korban pemerkosaan.Â
Pengecualian lainnya adalah apabila terdapat indikasi kedaruratan medis sebagaimana yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dapat dilihat bahwa hukum aborsi di Indonesia kurang lebih sama dengan hukum aborsi di Texas, perbedaannya terletak di kurang tersedianya fasilitas aborsi bagi yang membutuhkan.Â
Seperti yang dilansir di BBC News, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia belum mengeluarkan petunjuk atas layanan aborsi yang aman bagi korban pemerkosaan. Hal tersebut berimbas pada banyaknya perempuan, baik di bawah umur atau tidak, untuk tidak mendapatkan perlindungan dan layanan sehingga mereka terpaksa untuk melahirkan anak hasil dari pemerkosaan dan/atau inses.
Komisi Nasional Perempuan mengestimasi bahwa setiap harinya ada delapan perempuan yang diperkosa di Indonesia. Pemerkosaan yang terjadi dapat membuahkan janin sehingga opsi mereka adalah untuk melahirkan anak, melakukan aborsi sebelum enam minggu, melakukan aborsi secara ilegal, atau mengakhiri nyawa mereka sendiri. Setiap opsi yang mereka punya sangatlah terbatas dan memiliki konsekuensi psikologis dan sosial masing-masing.Â
Sebenarnya, korban dari pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dilindungi dalam draf awal RUU PKS yang mengkategorikan kedua hal tersebut sebagai bentuk dari kekerasan seksual. Akan tetapi, kedua hal tersebut dianggap tumpang tindih dengan KUHP dan UU Kesehatan sehingga kedua poin tersebut dihapus dalam RUU TPKS yang meninggalkan korban dalam posisi rentan terhadap gugatan.Â
Hal yang sangat disayangkan adalah karena meskipun aborsi bagi korban pemerkosaan diperbolehkan sebelum enam minggu, waktu tersebut masih terlalu dini bagi banyak perempuan untuk mengetahui bahwa mereka hamil.Â
Selain itu, informasi akan layanan aborsi bagi korban pemerkosaan dan/atau inses masih belum menyeluruh dan banyak dari korban yang mungkin masih belum keluar dari pengawasan pelaku sehingga mereka tidak dapat mendapatkan layanan aborsi.
Setiap perempuan, tanpa memandang umur, kelas sosial, latar belakang, suku, dan ras, memiliki hak untuk menentukan kapan dan jumlah dari anak yang mereka ingin lahirkan.Â
Saat hak tersebut dicuri dari mereka, mereka seharusnya mendapatkan perlindungan dan kebebasan untuk memilih karena anak yang berada di kandungan mereka adalah hasil dari pelaku biadab. Cukup banyak kasus pemerkosaan anak oleh keluarga mereka sendiri yang berakibat pada banyaknya kehamilan yang tidak diinginkan. Cukup banyak pula korban dibawah umur yang digugat karena melakukan aborsi karena diperkosa. Tanpa adanya perlindungan dan akses aborsi aman yang jelas, anak-anak tersebut berada di posisi yang rentan.Â
Bercermin dengan kasus yang terjadi di Texas dan Indonesia, seharusnya terdapat hukum internasional yang melindungi perempuan dari pemerkosaan dan/atau inses. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan seksual dan pemberian layanan kesehatan atau aborsi yang memadai dan aman agar perempuan dapat menentukan dengan sendirinya apabila ingin meneruskan kehamilan atau menggugurkannya. Apabila tidak disediakan edukasi pendidikan seksual sebagai tindakan preventif atau fasilitas yang memadai sebagai tindakan represif, perempuan, baik yang di bawah umur atau sudah dewasa, dapat mengalami banyak isu psikologis yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H