Melihat situasi itu, aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Di satu sisi, aku ingin menenangkan Indah, tapi di sisi lain, konser ini begitu memukau hingga aku merasa berat melewatkan momen-momen berikutnya. Agus, yang tadi hanya berkaca-kaca, kini terlihat mengusap wajahnya dengan tangan. Apakah ia benar-benar menangis?
For Revenge mulai memainkan lagu ketiga mereka. Nada-nada melankolis mengiringi lirik yang menusuk hati, seakan mencerminkan rasa sakit yang dirasakan banyak orang di tempat ini. Penonton serentak bernyanyi bersama, suaranya menggema bak paduan suara raksasa. Indah, meski emosinya tampak memuncak, tetap ikut bernyanyi, tangannya mengepal di udara. Agus akhirnya bergumam, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh lagu, "Lagu ini kayak cerita hidupku."
Malam itu, konser For Revenge tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga menjadi tempat meluapkan emosi yang selama ini terpendam. Beberapa penonton menangis, bahkan ada yang berteriak tanpa henti, seolah-olah setiap lagu menjadi jalan keluar dari beban yang selama ini mereka pikul.
Ketika For Revenge membawakan lagu terakhir mereka, "Serana" suasana berubah menjadi sangat emosional. Ribuan penonton, termasuk aku, secara spontan menyalakan lampu ponsel, menciptakan pemandangan indah yang menyerupai langit penuh bintang. Vokalis band itu terlihat terharu saat melihat penonton menyanyikan setiap lirik lagu dengan penuh perasaan.
Setelah lagu terakhir usai, band itu mengucapkan terima kasih kepada para penggemarnya yang telah setia mendukung mereka selama ini. "Kalian adalah alasan kami berdiri di sini malam ini," ujar sang vokalis, suaranya bergetar penuh emosi. Sorakan riuh dari penonton menjadi bukti bahwa kata-kata itu sampai ke hati semua orang.
Ketika lampu panggung perlahan padam dan konser berakhir, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Bukan hanya tentang bagaimana aku melihat For Revenge sebagai sebuah band, tetapi juga tentang bagaimana musik bisa menjadi penyembuh luka batin yang tak terlihat.
Dalam perjalanan pulang, aku, Agus, dan Indah berjalan tanpa banyak bicara, tetapi suasananya tidak canggung. Sesekali Indah menyeka air matanya sambil tersenyum kecil, sementara Agus menghela napas panjang seakan melepaskan beban berat. Aku tahu, malam ini tidak hanya menjadi momen untuk menikmati musik, tetapi juga momen untuk saling memahami satu sama lain.
Hananta, yang tadi sempat aku kenal di tengah konser, melambaikan tangan sambil tersenyum sebelum berpisah. "Sampai jumpa di konser berikutnya, bro!" teriaknya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati, aku tahu ini bukan perpisahan, melainkan awal dari cerita baru yang akan selalu kukenang.
Konser ini bukan hanya tentang For Revenge, tetapi tentang kita semua yang pernah merasa rapuh, berjuang untuk bangkit, dan akhirnya menemukan kekuatan dalam melodi dan lirik yang menyentuh hati. Malam itu, musik menjadi bahasa universal yang menyatukan semua perasaan yang selama ini kita simpan dalam diam.