Moentum Hari Ibu yang jatuh setiap tanggal 22 Desember bukan sekadar perayaan peran ibu dalam keluarga, tetapi juga refleksi atas perjuangan perempuan Indonesia di masa pergerakan kemerdekaan. Peran pendidikan dalam perjuangan ini tidak bisa dilepaskan dari cita-cita kemerdekaan yang ingin membebaskan bangsa dari segala bentuk penindasan. Menariknya, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai alat pembebasan, tetapi juga dapat menjadi sarana perlawanan terhadap kekuasaan yang korup.
Filsafat Pendidikan Modern: Alat Kekuasaan atau Sarana Pembebasan?
Filsafat pendidikan modern mengajarkan bahwa pendidikan memiliki dua sisi. Di satu sisi, pendidikan dapat menjadi alat untuk mempertahankan status quo melalui kontrol ideologi dan politik (Freire, 2005). Sistem pendidikan yang hanya menekankan kepatuhan tanpa kritisisme cenderung menciptakan individu yang patuh terhadap kekuasaan. Namun, di sisi lain, pendidikan juga dapat menjadi alat pembebasan. Dalam pemikiran Paulo Freire, pendidikan harus membangkitkan kesadaran kritis (critical consciousness) untuk melawan struktur yang menindas.
Dalam konteks Indonesia, visi ini relevan dengan cita-cita kemerdekaan. Pendidikan yang membebaskan bukan hanya tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga tentang menanamkan keberanian untuk menentang ketidakadilan. Pada masa perjuangan, perempuan Indonesia seperti RA Kartini dan Dewi Sartika memahami bahwa pendidikan adalah kunci untuk memberdayakan rakyat, khususnya perempuan, dalam melawan penindasan kolonial.
Sebagai contoh, seorang istri yang menerima hadiah dengan nilai tidak biasa dari suaminya dapat memulai dengan bertanya secara langsung tentang asal-usul hadiah tersebut. Misalnya, "Apakah hadiah ini dibeli dengan cara yang benar atau ada hubungan dengan pekerjaanmu?" Sikap kritis ini bukan untuk mencurigai, tetapi untuk memastikan bahwa segala sesuatu dilakukan sesuai dengan nilai-nilai kejujuran. Langkah ini mencerminkan pentingnya membangkitkan kesadaran kritis, bahkan dalam lingkup keluarga.
Hari Ibu dan Pendidikan Antikorupsi: Membentuk Generasi Berintegritas
Hari Ibu menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan Indonesia tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga berlanjut hingga saat ini. Salah satu bentuk perjuangan modern adalah memastikan pendidikan yang membentuk generasi berintegritas, terutama dalam melawan korupsi. Korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan merusak cita-cita kemerdekaan dan menindas rakyat.
Pendidikan antikorupsi tidak hanya dapat diajarkan melalui kurikulum formal, tetapi juga melalui keteladanan di rumah. Ibu, sebagai pendidik pertama, memiliki peran penting dalam menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk menolak hal-hal yang bertentangan dengan integritas. Misalnya, ibu dapat mengajarkan anak-anak untuk selalu meminta izin sebelum mengambil sesuatu, meskipun itu barang kecil seperti alat tulis milik teman. Dengan demikian, mereka diajak untuk membiasakan tindakan yang benar sejak dini, bukan sekadar membenarkan kebiasaan yang salah.
Ketika seorang teman mengajak untuk melewati jalan pintas yang melanggar aturan lalu lintas, kita dapat dengan sopan menolak dan menjelaskan bahwa meskipun kebiasaan itu sering dilakukan, itu tetap salah. Langkah kecil seperti ini adalah upaya nyata untuk membiasakan diri pada hal yang benar, sekaligus memberi contoh nyata bagi orang-orang di sekitar kita.
Pendidikan dan Perlawanan Kekuasaan di Era Modern
Di era modern, pendidikan menghadapi tantangan baru. Globalisasi dan digitalisasi menciptakan peluang, tetapi juga membuka pintu bagi manipulasi kekuasaan dalam bentuk baru, seperti hoaks, manipulasi data, hingga ketidakadilan digital. Oleh karena itu, penting bagi pendidikan untuk tetap menjadi alat perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas.