Akun A
Aku adalah facebook. Aku adalah akun blasteran Eropa-Jawa. Ayahku dari Eropa, sedangkan ibuku jawa tulen. Aku dilahirkan pada pada tahun 2013. Aku tergolong akun baru– yang dibuat. Konon katanya ibu melahirkanku karena teman-temannya sudah memiliki akun facebook, makanya aku dilahirkan. Awalnya ibuku sempat ragu untuk melahirkanku, karena menurutnya aku bukanlah akun yang penting. Tapi, karena dorongan gengsi akhirnya aku lahir.
Diawal kelahiranku—mata ibu berbinar, senyum ibu mengebang seperti menang lotre. Ia menuliskan rasa syukur telah melahirkanku ke dunia maya ini. Dia beritahu pada teman sejawat, para tetangga, dan tak ketinggalan keluarga besar. Pasca kelahiran—banyak kerabat yang berkunjung, mengucapkan selamat, dan bertanya ini itu. Sungguh merepotkan. Apakah kau merasa sama sepertiku?
Kata para tetangga, ibuku adalah sosok wanita pecinta dapur. Dulu, bila ibu memasak aromanya menelusup hidung hingga membuat perut bergoyang. Namun, kata ayah angkatku ibu sudah berubah. Ayah sudah jarang merasakan masakannya, ayah juga sudah jarang melihat ibu menyambut ayah ketika pulang kerja, terlebih perabotan rumah nampak berdebu. Maklum, ibu baru melahirkanku. Wajarkan bila ibu lebih sibuk mengurusku? Mengusap wajahku dengan tampilan foto baru, membalas tiap pertanyaan yang diajukan, atau sekedar chat dari kerabat. Ibuku sangat perhatian. Aku tidak mau dianggap anak yang durhaka. Maka, aku pun rajin membantu ibu. Berdagang baju-baju di dunia maya.
Aku dan ibu saling bahu-membahu untuk mendapat keuntungan. Maklum, harga BBM sudah naik sekarang. Keuntungannyayaaa lumayanlah, bisa bantu ayah angkatku bayar kebutuhan sehari-hari keluarga. Senang rasanya memiliki ibu yang perhatian. Tapi, aku kasihan dengan akun B. Dia hanya dijadikan tempat sampah oleh ibunya. Para akun-akun lainnya turut prihatin dan merasa simpati padanya. ckckck
Akun B
Akun A sangat beruntung memiliki keluarga yang perhatian. Wajahnya selalu bersih dan tampak segar. Tidak seperti saya. Foto profil tak pernah diperbaharui oleh ibu sejak 3 tahun lalu. Dan, sekarangsejadi-jadinya saya adalah tempat sampah akun-akun lain.
Perkenalkan, saya akun B. Saya terlahir sebagai anak tiri dengan jumlah pertemanan 158 orang. Saya jarang berkumpul dan bergabung dengan akun-akun lain. Maklum saya adalah akun yang pemalu. Apakah saudara juga punya akun facebook? Bagaimana perangai akun saudara? Apa akun saudara sama pemalunya seperti saya? Jika demikan, wajarlah karena tiap akun memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
Saya selalu mendapat berbagai macam kunjungan dan tawaran dari berbagai akun. Nama saya ditandai dalam sebuah status yang tak saya paham apa maksudnya, juga ditandai diberbagai acara yang kadang tak begitu penting untuk saya hadiri. Atau sebuah promo online shop yang sama-sekali tak menarik perhatian.
Begitulah hidup saya sekarang. Tapi, saya merasa bersyukur karena ibu saya tidak pernah mengeluh pada saya. Ibu saya memang realistis orangnya. Ibu adalah orang yang introfert dan sibuk dengan dunia nyata. Mengurus anak kandungnya dengan baik, menyiapkan sarapan untuk suami, dan beres-beres rumah. Ya, walaupun saya bukan dari rahim ibu, saya senang memiliki sosok ibu sepertinya.
Ibu saya juga tidak pernah membuat pencitraan. Berkata bijak, “Kehidupan ini bla bla bla….” Atau sejenisnya. Tidak seperti akun sebelah—akun C, yang kerjaannya pencitraan. Hahaha saya hanya tertawa saja bila ia menuliskan kata-kata bijak. Saya tahu persis sifatnya. Pokoknya tidak seperti yang dia tulis di facebook itulah. Apa kelakuannya? Ah, sudahlah tak patut saya ceritakan disini. Takut dosa saya nambah. Saya juga tidak tahu apakah pencitraan yang dia lalukan itu atas perintah orang tuanya atau bukan. Yang jelas, manusia di dunia nyata menganggap dia semacam manusia bijaksana. Saya percaya saudara tidak melakukan pencitraan pada akun Anda. Karena saya tahu Anda adalah orang yang cerdas.
Akun C
Mereka ndak tahu sama sekali tentang hidup dan perasaan saya. Tidak satupun!
Nurani saya ingin berontak tapi ndak bisa. Apa tuan atau puan tahu bagaimana rasanya menjadi akun facebook? Jika disuruh memilih, saya ndak bakalan mau jadi akun beginian. Saya sudah lelah dengan hidup saya. Diawal kelahiran sebagai akun facebook saya sudah ndak nyaman. Memang benar apa kata mereka. Saya melakukan pencitraan.
“Loh, memangnya kenapa? Sah sah aja kan? Toh, ini kan akun saya. Jadi, hak saya mau menulis apa saja di facebook. Itulah gunanya kamu, untuk pencitran,” itulah pernyayaan tuan saya saat ditanya soal pencitraan. Kapok menanyakannya lagi. Jika saya tanya lagi, saya diancam akan dihapus—mati,dari dunia maya ini.
Mungkin ini takdir saya. Mau, tidak mau saya mesti terima. Saya merasa seringkali para tuan atau puan pengguna facebook tidak menjadi diri mereka sendiri. Tapi boleh jadi mereka di dunia maya lebih diangkap ada, ketimbang di dunia nyata. Tapi, saya yakin tuan atau puan yang membaca cerita saya ini ndak begitu. Saya ingin bebas menjadi diri saya sendiri. Apakah Anda sudah jadi diri sendiri dalam duania nyata? Saya harap iya.
Saya juga lelah tiap hari menuliskan curhatan tuan saya yang galau. Tentang gaji yang ndak turun-turun tapi dia bikin status yang bijak-bijak. Sebenarnya dia dongkol juga gara-gara gaji ndak turun-turun. Tentang klakson yang mendenging di telinga, asap-asap polusi yang sudah biasa-- kemacetan ia gerutukan pula, dan lagi masalah mantan pacar yang tak kunjung usai, dia tulis status romantis ala sastrawan-sastrawan itu.
Kadang saya berandai-andai memiliki tuan atau puan yang benar-benar tulus mengasihi saya. Menjadikan saya sebagai media yang bermanfaat untuk hajat orang banyak. Seandainya tuan atau puan diluar sana berkenan mengangkat saya sebagai akun Anda, pastilah saya sangat bahagia. Apa tuan atau puan ada yang berkenan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H