Mohon tunggu...
Des_yach SyAchroni
Des_yach SyAchroni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

satu jiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penantian Perempuan Tua

21 Februari 2014   09:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi—selepas shalat subuh, Aku pergi keluar rumah menuju pekarangan seperti biasa. Menikmati udara pagi yang masih segar jauh dari polusi. Tercium aroma tanah yang basah, daun-daun yang bermandikan embun. Sesekali masih terdengar dari mesjid-mesjid alunan suara orang yang tengah mengaji dan juga suara orang berceramah. Pagi yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan setelah sejenak berdiri memandang gelap yang masih tersisa sebelum matahari mengusirnya,  aku ikat rambut yang panjang tergerai dengan satu karet gelang. Baru kemudian memulai aktifitasku untuk menyapu halaman rumah.

Aku hanya seorang perempuan tua, yang hidup dengan rutinitas seadanya. Sebagai ibu dari anak-anakku, dan sebagai istri dari suamiku. Tidak ada yang istimewa dari kehidupanku ataupun dari diriku. Wajahku yang semenjak remaja, hanyalah wajah cerminan perempuan dusun berkulit hitam yang jauh dari kata cantik, dan jauh juga dari kata pintar. Karena memang aku tak pernah tamat sekolah dasar. Aku juga tak tahu tentang bagaimana cara menghias diri. Namun demikian, aku masih beruntung karena Kang Diman—seorang pemuda dari desa seberang, terpikat dengan diriku apa adanya, dan kemudian menikahiku.

Dan Kang Diman juga bukanlah sosok lelaki yang tampan dan kaya. Wajahnya biasa saja, dan pekerjaannya hanyalah sebagai seorang supir becak. Namun demikian, aku melihat sifat-sifat baik yang dimiliki suamiku itu. Sabar, pengertian dan juga giat dalam bekerja, serta jarang sekali mengeluh. Meski kesialan hidup kerap dialaminya.

Setelah selesai menyapu halaman. Aku masuk kembali ke dalam rumah menuju dapur. untuk memasak air, menyiapkan makanan pagi bagi suami dan juga anak-anak. Di sela-sela menunggu, aku mencuci semua piring, gelas dan semua perabotan kotor sisa semalam yang belum sempat aku cuci. Pagi-pagi, kopi serta sarapan sudah harus tersedia untuk suami dan anak-anakku sebelum mereka beraktifitas dan meninggalkan aku sendirian di rumah.

“Anak-anak sudah pada bangun, Bu?” tiba-tiba suara Kang Diman terdengar olehku, sedikit mengejutkanku.

“Belum, Pak..” jawabku sambil tanganku mengaduk-aduk kopi dalam gelas.

“Hmm.. nanti kalau aku selesai shalat subuh mereka belum bangun. Tolong bangunkan mereka. Suruh pada shalat subuh juga. Kayak orang kaya saja, bangun siang-siang” ucap Kang Diman lagi sambil ngeloyor masuk kamar mandi mengambil air wudhu.

“Iya, Kang..”

Setelah semua telah siap, aku membawa kopi, teh manis dan lauk untuk sarapan ke atas meja. Dan kembali meraih gagang sapu untuk melanjutkan kegiatanku membersihkan seisi rumah. Gelap perlahan mulai tersingkirkan oleh pagi yang akan hadir bersama matahari. Satu persatu terdengar langkah dan cakap orang-orang yang juga mulai sibuk dengan aktifitas mereka. Wajah-wajah yang masih berharap untuk bisa memeluk bantal guling kembali.

Kang Diman selesai menunaikan shalat subuh, lalu menghampiri meja makan. Duduk sambil menyeruput kopi yang aku buatkan tadi.

“Anak-anak tolong dibangunkan, Bu” tanya Kang Diman lagi kemudian.

“Iya, Kang.. “ aku segera menghentikan kegiatanku untuk melaksanakan permintaan Kang Diman.

…..

Matahari telah sedikit menunjukan wajahnya. Ia terlihat masih malu-malu atau mungkin masih sedikit malas. Kang Diman sudah berada di pekarangan rumah, mengelap kursi penumpang becak kesayangannya. Kadang handuk yang biasa dikalungkan di lehernya dia kibas-kibaskan kearah becaknya, seolah mengusir debu-debu nakal yang masih menempel di badan becak.

Aku berdiri memperhatikan dirinya melakukan semua itu. Sudah merupakan kewajibanku untuk mengantarkan kepergian suami setiap kali pergi bekerja mengais rejeki untuk keluarga tercinta. Ketika melihat Kang Diman telah duduk dan siap mengayuh becak kesayangannya. Segera aku menghampirinya.

“Tolong kasih tau anak-anak, jangan kelamaan mandi atau sarapannya, Bu. Nanti mereka kesiangan semua lagi,” ucap Kang Diman saat aku mengecup punggung tangannya.

“Iya, Kang…”

Becakpun mulai dikayuh dengan berat menuju pintu halaman rumah, masuk ke jalan gang dan terus melaju hingga menghilang dari pandangan. Aku menghela nafas panjang memandang kepergian suamiku. Ada sesak yang tiba-tiba aku rasa di dalam dada. Dan semakin menjadi ketika aku menoleh kedalam rumah yang kosong. Tidak terasa bibir bergetar seiring rasa yang tiba-tiba menjalar masuk ke dalam hatiku. Airmata aku tahan untuk tidak jatuh di pagi yang cerah ini, mengambang di pelupuk mata.

Seketika kesadaran mengingatkan kepadaku untuk tetap tegar menghadapi hari-hari yang sama yang akan aku alami selama sisa hidupku. Dengan menggunakan ujung lengan baju baju, aku coba menghapus airmata yang menggenang.  Menarik nafas panjang untuk kemudian melangkah kembali masuk kerumah.

Aku adalah perempuan tua dengan rutinitas yang sama setiap hari. Sebagai ibu dari anak-anakku, dan sebagai istri dari suamiku. Tidak ada yang istimewa dari kehidupanku ataupun dari diriku. Kecuali cerita tentang anak-anak yang telah pergi pada pagi-pagi seperti ini namun hingga kini tidak pernah kembali. Tanpa ada kabar berita. Tanpa Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Aku hanya mengingat pada suatu siang setelah kepergian mereka, tiba-tiba terjadi kerusuhan besar. Dimana semua orang terlihat seperti kerasukan setan. Api terlihat berkobar dimana-mana. Wajah-wajah bengis menyeringai sambil berteriak, tergambar jelas wajah mereka di layar televisi. Sejak itulah rumah ini menjadi sepi.

Lalu cerita tentang suamiku, Kang Diman, lelaki yang begitu aku cintai, Bapak dari anak-anakku yang telah pergi tak kembali. Dia yang seolah selalu lupa bahwa anak-anaknya telah pergi sekian lama tanpa ada kabar berita. Entah keyakinan atau kesadarannya yang mulai hilang. Yang ku tahu, begitu besar harapan Kang Diman terhadap anak-anak kami. Berharap kelak, mereka mampu mengangkat derajat dan taraf hidup keluarga ini. Harapan yang membuatnya tidak percaya dan menerima kenyataan bahwa anak-anaknya tidak pernah kembali.

Dan aku.. aku adalah perempuan tua yang menyimpan asa yang perlahan mulai terkikis habis melihat kenyataan yang ada atas kehidupan pagi kami. Bahwa suatu saat juga semua akan pergi meninggalkan diriku di rumah ini seorang diri. Tetap pada rutinitas yang sama dalam hampa menunggu mereka yang pergi tanpa kembali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun