Seperti biasanya,pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan rumahnya.Kugosok-gosokan kedua telapak tanganku untuk mengusir hawa dingin,lalu melangkah ke depan pintu setelah kubunyikan klakson motor bebekku.Motor bebek yang setia menemaniku untuk menjemput dan mengantar perempuan pemilik rumah ini.Dan betullah pada waktu-waktu seperti biasanya perempuan yang aku nantikan keluar.Tapi tidak biasanya,dia keluar dengan seorang pria.
"Mas, ini suami saya.Dia baru..."
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi.Jadi kutendang tong sampah yang ada di dekatku.Isinya berhamburan,termasuk tikus dan kecoa yang berlarian karena kaget.Seperti aku yang kaget karena mendengar kalimat pertama tadi.
Setelah itu aku pulang dengan perasaan marah dan sakit hati.Kutancap gas dan meliuk-liuk dengan lincah di jalanan.Trafick light kulewati,lampu merah kuterobos.Seorang Polantas yang sibuk membuat surat surat tilang untuk supir truk bermuatan pasir yang keluar kesiangan, tidak sempat mengejarku.Aku harus cepat pulang, karena rasa sakit hati ini bertambah parah.
Sampai di depan rumahkulihat ibu sedang bertransaksi dengan tukang sayur.Aku langsung masuk kamar dan berniat untuk tidur walaupun matahari baru terbit, bukan tenggelam.Aku berharap kasur yang empuk dapat menghilangkan rasa sakit hati ini.Tapi harapan tinggal jadi harapan karena kasur di jemur ibu dan syaraf sensorik tetap mengirimkan rasa sakit hati ini ke otakku.
Kemudian tiba-tiba sebagian organ tubuhku lumpuh.Empedu pecah dan otak beku karena tidak kuat menahan rasa sakit hati ini."Barangkali hati ini harus di buang",pikirku.Maka kusayat perutku dengan pisau lipat yang selalu kubawa.Tanganku meraba-raba isi perut;dari usus besar, usus halus, usus dua belas jari sebelum akhirnya sampai ke hati.Kucopot hatiku, kumasukan ke kantong plastik,kusimpan dalam lemari es.Biarlah hatiku berada disana di tempat yang dingin.
Aku tertidur.
Suara bising mesin yang memang sudah kukenal membangunkanku.Aku betul-betul heran ketika terbangun.Badan dan pikiran segar,bahkan aku belum pernah mengalami keadaan sehat seperti ini.Dan perutku sehat walaupun ada bekas jahitan.Hatiku.....,kubuka lemari es, tidak ada, kucari lebih teliti, tetap tidak ada.
"Kau mencari hati? tanya ibu sambil kakinya tetap konstanmenginjak-angkat pedal mesin jahit."Tadi ibu berikan ke mbak Sri pemilik warung nasi di seberang jalan".
Entah kenapa aku tidak mempermasalahkannya.Hati selalu menipu rasio kita,mungkin karena itu Pengadilan tidak pernah menerima bukti dari hati.Banyak orang bermain-main dengan hati, tanpa peduli dengan hati orang lain.Hati identik dengan cinta, karena cinta pula orang jadi tidak punya hati.Hati hanya dijadikan alat propaganda untuk melegalkan perbuatan yang bertentangan dengan norma.Apakah manusia masih memerlukan hati?
*************
Warung nasi mbak Sri ternyata banyak didatangi orang.Memang aku tidak pernah memperhatikannya, padahal setiap hari kulewati dan antara rumahku dan warung nasinya mbak Sri hanya terhalang aspal hitam.
Kusempatkan mampir, kulambatkan motor bebekku, kuturuni aspal.Hentakan terjadi ketika ban melewati jalan yang bergronjal.Pada detik yang sama aku sadar bahwa perutku memang kosong.Dan karena alasan inilah aku mampir.Banyak, banyak sekali orang yang datang.
Aku duduk di bangku teras warung.Aku tidak berusaha untuk mendesak masuk.Biarlah kutunggu sampai keadaan sepi, walaupun perutku berkata sebaliknya.
"Akhirnya mas Roni mau mampir!" kata mbak Sri dengan nada senang.
Senja sudah lewat dan orang-orang sudah pergi untuk melanjutkan aktivitasnya.Dan kulihat piring-piring didalam etalase juga sudah kosong.Aku terpaksa harus membujuk perutku.
"Mas lain kali kalau mau mampir bilang dulu, entar saya pisahin lauknya." katanya sambil menutup tirai.
"Mau ditutup warungnya mbak?"
"Iya."
"Mari saya bantu!"
"Tidak usah."
Kulihat ia menganbil bangku plastik dan ditempatkannya tepat dibawah lampu neon.
"Buat apa bangku itu mbak?"
Pertanyaanku dijawab dengan senyuman.Lalu ia berdiri diatas bangku itu.Tangannya menggapai lampu neon. Tba-tiba gelap, bersamaan dengan itu kudengar seperti suara jatuh.Dalam remang kudekati mbak Sri, kubantu ia berdiri.Tangannya memelukku, dan tanpa sengaja wajah kami bertemu.Tangannya makin erat memelukku.Dengan bulu roma berdiri dan jantung dag dig dug kucium pipi dan mulutnya, lalu aku tersenyum karena ingat kejadian SMP saat melakukan flirt* dengan teman wanita sekelas.
Sejak saat itu aku semakin sering mampir, mengantarnya ke pasar bahkan sekali dua kali menginap dirumahnya yang memang tinggal sendiri.
"Mbak sudah punya suami?" kataku saat pagi itu aku menjemputnya untuk pergi ke pasar.Ia hanya melempar senyum lalu naik membonceng dibelakangku.Aku tidak tahu makna dari senyuman itu.Senyum adalah tanda, tanda diberi makna.Makna selalu berubah dan perubahan itu pada dasarnya terjadi setiap saat.Aku tidak mau ambil pusing dengan senyuman itu.Maka kutancap gas, kukotori uadar pagi yang masih bersih dengan asap knalpot motor bebekku.
Dan malam itu aku tidak dapat tidur sama sekali.Senyum mbak Sri membuat penasaran, karena itu aku selalu memikirkannya.Mbak Sri memang cantik.Umurnya mungkin ada dua puluh lima tahun.Tubuhnya tidak begitu langsing tapi tetap menarik seperti kebanyakan perempuan di negeriku.Bagaimana ia bisa menjawab pertanyaanku dengan senyum.Juga bagaimana ia bisa bermain-main dengan makna.Senyumnya punya makna yang objektif.
Entah kenapa paginya kepalaku pusing.Aku pusing mungkin karena semalam tidak bisa tidur.Walaupun begitu, seperti biasa aku harus tetap menjemput mbak Sri untuk mengantarnya ke pasar.
Udara dingin dan suara ayam jantan berkokok menyambut kedatanganku di rumah mbak Sri.Kugosok-gosokan kedua telapak tanganku, lalu melangkah kedepan pintu setelah membunyikan klakson.Dan betullah pada waktu-waktu seperti biasanya mbak Sri keluar.Tapi tidak biasanya dia keluar dengan seorang pria.
"Mas, ini suami saya.Dia baru datang tengah malam." Katanya dengan wajah tanpa dosa.
"Sekarang mas Roni pulang saja."
Aku diam, hanya diam.
"Mulai sekarang sampai seterusnya, mas Roni tidak usah antar-jemput saya lagi.Karena sekarang sudah ada suami saya."
Aneh, kenapa aku tidak merasakan apa-apa.Apa karena aku tidak punya hati? Tapi sekarang aku mengerti makna dari senyum itu. Dan kepalaku sudah tidak pusing lagi.
Setelah itu aku pulang.Aku rindu dengan sesuatu yang tidak ada.Sesuatu yang merasakan sakit, merasakan sakit, cinta, kasih sayang dan cemburu.
Sampai didepan rumah, kulihat ibu sedang tawar menawar harga dengan tukang sayur langganan. "bu, tolong beli hati yang masih segar."
***************************************************************************************************************
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI