Mohon tunggu...
Derul Abiyyu Dzaqi
Derul Abiyyu Dzaqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Derul Abiyyu Dzaqi, Mahasiswa semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memerangi Arus Hoaks di Era Teknologi Komunikasi: Tantangan dan Strategi Melindungi Informasi yang Benar

10 Januari 2024   20:55 Diperbarui: 10 Januari 2024   21:17 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bbc.com

Perkembangan teknologi informasi komunikasi selama satu dekade terakhir memberikan hasil yang signifikan bagi kehidupan manusia. Era ini dikenal sebagai era disrupsi, suatu era yang hadir dalam transformasi di dunia industri berupa munculnya digital industri 4.0. Digital industri 4.0 mempenetrasi penggunaan teknologi informasi yang massif ke seluruh aspek kehidupan sehingga melahirkan suatu pola baru seperti robotic, digital economy, artificial intelligence, Internet of Things (IoT), big data dan rekayasa genetika (Irhamdhika, 2022).

Pada masa revolusi industri 4.0 seperti saat ini, era digital menciptakan suasana baru dalam kehidupan manusia. Era ini membawa gaya baru dalam cara mengakses informasi dan berkomunikasi. Dengan mudahnya, manusia dapat menjelajahi dunia maya hanya dengan menggunakan kuota internet dan perangkat pintar seperti ponsel atau gadget. Perpindahan pengaksesan informasi dari media konvensional ke media digital dianggap sangat menguntungkan karena memungkinkan perolehan informasi yang cepat dan aktual.

Menurut Aribowo (2017) menjelaskan bahwa kecepatan akses informasi tersebut menyebabkan terkadang informasi yang beredar adalah informasi mentah yang tidak disunting dan diverifikasi dengan kebenaran informasinya terlebih dahulu. Sehingga, masyarakat menjadi linglung atau 'kebingungan' ketika berita fakta dan yang bohong ber-seliweran silih berganti dengan begitu cepatnya. Gejala tersebut di atas dikenal dengan istilah kejutan budaya (culture shock).

Di Indonesia, penyebaran berita palsu atau hoaks seringkali terjadi dengan cepat, bahkan lebih cepat dibandingkan dengan berita yang valid. Era digital memainkan peran kunci dalam memfasilitasi penyebaran berita langsung kepada masyarakat. Teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, memudahkan akses informasi dan menjadikan penyebaran berita semakin efisien. Fenomena penyebaran berita palsu ini menyebabkan kegelisahan di kalangan masyarakat, karena berita palsu dapat merugikan mereka secara langsung. Keberadaan berita palsu semakin meluas di era digital, di platform seperti Line, Twitter, Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Banyak pihak yang tidak bertanggung jawab turut serta dalam menyebarkan berita palsu. Teknologi sebagai medium untuk menyampaikan informasi tidak terikat oleh kebijakan yang mengatur penggunaan media sosial di era digital.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama dengan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (UI), dapat disimpulkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Dari data awal tahun 2015 yang mencatat 88,1 juta pengguna, dalam kurun waktu dua tahun, penelitian dari wearesocial.sg mencatat bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat menjadi 132 juta orang. Pertumbuhan ini mencapai 51% dalam satu tahun, menunjukkan adanya perkembangan yang pesat dalam penetrasi pengguna internet di Indonesia (Gerakan Literasi Nasional, 2017).

Di Indonesia, munculnya berita palsu atau hoaks seringkali mencuat saat periode politik, khususnya pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Selama Pilkada DKI Jakarta 2012, misalnya, media sosial menjadi wadah utama untuk kampanye hitam dan penyebaran fitnah. Fenomena ini tidak hanya terbatas pada Pilkada DKI Jakarta 2012, tetapi juga berlanjut pada pemilihan lainnya, termasuk Pemilihan Presiden 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, bahkan hingga Pemilihan Presiden 2019. Penyebab utama munculnya berita palsu ini dapat ditemukan dalam kombinasi rendahnya literasi masyarakat Indonesia, polarisasi isu sosial politik, dan konflik SARA (suku, agama, dan ras) yang sering kali menjadi sorotan.

Dengan maraknya penyebaran berita palsu, potensi kerusakan pada struktur masyarakat menjadi sangat mungkin. Hoaks dapat menjadi alat propaganda yang memicu konflik antar komunitas, mengakibatkan perpecahan di tengah masyarakat. Dalam era informasi yang sangat terbuka, penyebaran berita palsu dapat memprovokasi setiap individu untuk menyimpan perasaan kebencian, karena informasi yang dipresentasikan bersifat menghasut, menciptakan konflik, dan mengadu domba, yang pada akhirnya menggugah rasa antipati terhadap kelompok tertentu.

Keaktifan khalayak di media sosial perlu disertai dengan tingkat literasi digital yang memadai agar pencarian informasi dapat berlangsung secara efektif dan akurat. Fenomena ini erat kaitannya dengan pola perilaku masyarakat dalam mencari informasi dan dipengaruhi oleh budaya berbagi yang kental di Indonesia. Kecepatan dalam mengakses informasi saat ini memfasilitasi proses tersebut, tetapi disayangkan, tidak selalu diimbangi dengan upaya memeriksa keakuratan berita di tengah banjir informasi yang terjadi di era ini.

Pemberantasan berita palsu di Indonesia melibatkan berbagai organisasi yang mengusung program-program beragam untuk mengatasi penyebaran hoaks. Organisasi-organisasi ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu pemerintah yang berperan sebagai inisiator kebijakan untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk warga negara dan pemangku kepentingan dalam pemerintahan, serta sektor swasta.

Dalam hal strategi pemberantasan, pemerintah perlu menerapkan langkah-langkah yang komprehensif, mulai dari tindakan preventif seperti sosialisasi literasi media, hingga tindakan yang lebih terstruktur seperti penegakan hukum terhadap pembuat berita palsu, pemblokiran situs yang melanggar, dan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menindak para pembuat hoaks. Selain itu, organisasi non-pemerintah, seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), fokus pada aspek pendidikan baik di tingkat formal maupun informal untuk mencegah penyebaran hoaks, melibatkan masyarakat dalam proses pembelajaran.

Kerja sama antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah menjadi kunci dalam upaya pemberantasan hoaks ini, dengan tujuan menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat dan dapat dipercaya. Melalui pendekatan holistik ini, diharapkan penyebaran berita palsu dapat diminimalkan, menjaga integritas informasi, dan melibatkan masyarakat dalam proses pemberantasan hoaks secara bersama-sama.

Penulis: Derul Abiyyu Dzaqi, Mahasiswa semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun