Mohon tunggu...
Deru Sudibyo
Deru Sudibyo Mohon Tunggu... -

http://sites.google.com/site/derusudibyo/

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Pemerintah Kera Negeri Kere

23 Juni 2012   21:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah negara adalah masalah publik, yang selalu menyangkut kepentingan bangsanya.      Betulkah?       Betulkah Nazi merupakan kepentingan rakyat Jerman?    Ataukah sekedar selera Hitler dan gengnya?      Betulkah Marxisme merupakan kepentingan rakyat Russia?     Ataukah sekedar ambisi Stalin dan teman-temannya?       Tentu kita tidak tahu jawabannya, karena kita hanya melihatnya dari luar, bahkan waktunya pun sudah lewat.        Jangankan Nazi dan Marxisme yang memang pernah ada beneran.        Sedangkan cerita fiksi dongeng kuno saja kadang mampu membutakan pikiran kita. Dalam beberapa dongeng kuno, sering negara mengalami krisis atau terpaksa memerangi negara lain hanya karena kegagalan cinta sang raja.        Misalnya, dalam epik Mahabharata, negeri Hastinapura pernah mengalami krisis luar biasa di jaman rezim Santanu, gara-gara sang raja jatuh cinta pada gadis desa Satyawati.      Pasalnya, cinta sang raja ditolak gara-gara sang raja tidak mau menandatangi perjanjian bahwa kelak yang menggantikan tahta keturunannya dari Satyawati.        Karuan saja Santanu tidak mau tandatangan, karena sudah kadung menunjuk Dewabrata (atau Devrat nama kecil Bhisma) sebagai putera mahkota.         Krisis berkepanjangan hingga Hastinapura nyarus terpuruk.      Krisis baru berakhir setelah Dewabrata mengucapkan sumpah tidak akan menjadi raja dan tidak akan menikah untuk menutup kemungkinan punya keturunan yang kelak menuntut tahta. Namun kita pembaca atau penonton terbius tidak menyalahkan Santanu sang raja cengeng itu.       Dongeng itu dikemas sedemikian rupa sehingga kita justru iba kepada Santanu dan sewot kepada ayah Satyawati yang terlalu ambisi ingin agar keturunannya menjadi raja.         Nggak tahu apa misi sang pengarang, yang jelas timbul kesan bahwa rakyat bercita-cita keturunannya menjadi raja adalah sesuatu yang tidak patut dan tidak etis.       Mungkin saja si pengarang memang dari keluarga bangsawan, sehingga ada tendensi untuk menanamkan pengertian seperti itu kepada publik.       Namun rupanya si pengarang cukup jenius, sehingga kita para penonton/pembaca terbius, bahkan saking terbiusnya, Santanu kita nobatkan menjadi salah satu teladan dalam kehidupan sehari-hari. Yang lebih parah lagi adalah kisah Rama - Shinta dari epik Ramayana.        Kisah cinta sejoli ini memakan tumbal negara lain, Kiskenda (atau Kishkinda), yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya.       Kiskenda adalah negara kera yang miskin dan terpuruk oleh perang saudara yang kian meruncing.      Anehnya, pemerintahan kera negeri kere itu mati-matian dan habis-habisan menyerang Alengka (atau Langka atau Srilanka) karena merasa mulia menjadi pengikut orang asing, Rama.       Yang lebih gila lagi kita para penonton atau pembaca, terbius ikut memuliakan Rama dan para kera Kiskenda yang tolol itu, bahkan menganjurkan melalui pendidikan publik untuk meneladaninya.       Itulah hebatnya seorang pujangga jenius yang menulis Ramayan.        Detil ceritanya dapat disimak disini. Kalo kita cermati lebi dalam, kayaknya sih nggak jenius amat sang pujangga.     Pasalnya, dia memanfaatkan agama dan memaksakan seolah-olah dongeng Ramayana ini menjadi bagian dari ajaran agama.        Rama diangkat sebagai jelmaan dewa.       Bahkan dalam beberapa sempalan cerita Ramayana, Hanuman pun ada yang menganggapnya dewa.       Kita semua tahu, sesuatu yang dikaitkan dengan agama, tentu akan mendapat pembenaran otomatis dari para pemeluk agama tersebut.      Yang penting cara mengkaitkannya harus sehalus mungkin jangan sampai ada umat yang usil menggunakan logika untuk membedahnya. Namun demikian, di negeri kita sejak dulu kala, baik Ramayana maupun Mahabharata sudah menjadi domain publik sebagai cerita fiksi.       Demikian pula di beberapa negara lain.      Oleh karena itu saya berani membahas dari arah sebaliknya.      Tentu dengan harapan tidak ada sedikitpun unsur SARA.

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun