Aku di depannya Tuhan, tapi kenapa aku tidak bisa menghapus air matanya?
“Kenapa kau masih menanti sedangkan aku ada di sini? Tolong berhentilah menangis, aku sudah kembali, aku disini sekarang.”
Langit begitu memerah dan kau begitu banyak mengeluarkan darah. Nafasmu memburu. Keringatmu mengalir begitu deras.
“Aku disini sayang, bertahanlah. Aku mohon bertahanlah!”
Aku berlari menuju perkampungan, berteriak meminta pertolongan. Semua mengacuhkan. Tak ada yang mengindahkan.
Kembali ku berlari menuju dermaga kayu. Kau membujur kaku, disampingmu nyawa baru menangis pilu. Dia menangis, menjerit, meraung mengharapkan peluk hangatmu.
“Dia hadir sayang, yang kita tunggu telah hadir. Tidakkah kau mendengarnya? bangunlah!. Dia, aku membutuhkanmu. “
**
“Dia tumbuh dengan baik sayang, kau melihatnya? matanya indah seperti milikmu. Senyumnya cerah sepertimu. Kau melihatnya kan? Jangan khawatir, aku akan menemaninya disini.”
Nak, Bapak di tepi kini. Temanimu untuk bercerita. Kau lihat Bapak kan nak?
Ikuti Event Surat-menyurat di http://www.kompasiana.com/androgini/event-fiksi-surat-menyurat-di-kompasiana_5618f89b4123bd3d16f2001f