No. 06
Tentang suara debur dan dedaunan jatuh, tentang langit senja di ujung samudra juga kicau-kicau burung di ranting tua. Cinta itu tentang menunggu kan? atau cinta itu tentang jurang-jurang terjal? atau tentang hutan-hutan berkabut?. Tapi bagiku cinta itu adalah pantai. Ada yang bilang cinta itu adalah puncak tertinggi, ada yang bilang cinta itu jurang yang dalam. Tapi bagiku cinta itu adalah ombak.
Katakan cintaku, katakan cintaku, katakan cintaku. Katakan tepat di ujung telinga, berbisik. Cukup aku yang dengar. Lalu peluk aku dengan erat.
Aku kaku, membatu. Nafas, nafas, berikan aku ruang untuk bernafas. Sesak, sesak, sesak sekali. Berulang kali kau ucapkan sayang, sayang, sayang sekali. Kau yang menarik kencang tanganku, memaksaku berlari, jauh menuju hutan. Entah kenapa ini kertebalikan dari puisi Rangga, “Ketika dia ingin ke hutan lalu ke pantai”. Kau bilang hutan itu luas tapi matamu terbatas, daun akan selalu membatasi jangkauanmu. Tidak sebebas kau menatap laut.
Tapi mereka punya kebebasan masing-masing kan?. Kau melepaskan tanganku tiba-tiba, meneteskan air mata.
“Bukankah katamu jika hutan dan pantai itu menyatu kita telah dekat”. Katamu sambil menunduk. Selembar daun jatuh tepat di tengah kita berdiri. Pelan kutangkap dengan tangan kiri. Kutulis dengan kata, Aku cinta, sayang, sayang sekali.
Kau mengangkat dagu, menatap dengan penuh kaca di mata. Cepat memeluk erat. Sesak, sesak, sesak. Aku ingin ruang untuk bernafas. Lama kau mencoba untuk erat.
“Lepaskan” teriakku.
“Jika kau terus mendekapku erat, aku akan mati tidak bernafas. Kenapa kau menarikku ke alam liar? Hutan, hutan, hutan. Ada apa dengan hutan?.”
“Terus ada apa dengan pantai?” Jawabmu juga teriak.