Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Penulis - Hanya orang biasa

Hidup ini indah kalau kita bisa menikmatinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

KL Nai 07: Jimat dari Pembantu S3

24 Oktober 2017   21:13 Diperbarui: 24 Oktober 2017   21:17 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

" Coba lagi, jangan cepat putus asa, Jo !"

Kuulangi panggilan, kulangi sekali lagi, kubuka speakerphone agar Ramli mendengar panggilanku tidak terjawab. Setelah tiga kali, aku menatap Ramli, biar dia yang memutuskan apakah aku orang yang cepat putus asa atau tidak. Ramli memalingkan wajahnya.

" Tak adakah cara lain ?" tanya Ramli bingung.

Aku menggelengkan kepala.

Kepala Ramli bergerak gerak, persis kepala Hamster yang ingin keluar dari kandangnya tapi bingung melihat kurungannya tinggi. Aku menebak Ramli sedang berpikir keras. Kubiarkan dia berpikir. Ini persoalannya, bukan persoalanku. Aku santai saja. Aku sudah membuat keputusan untuk menipunya sekali lagi. Nanti malam aku datang ke lokasi itu bersama Ifin, aku pura pura membaca mantera, mengajak kunti itu bernegosiasi, lalu akan kukatakan pada Ramli bahwa Kunti itu minta sesajen 3 ekor kambing guling dan dua ekor kelinci goreng sebagai tumbalnya, setelah kenyang kunti itu akan pergi dengan sukarela. Hebat kan, aku ? Jonatan Ferdi gituloh !

" Aku sudah kenyang. Aku tidur sebentar. Jangan ganggu aku ya. Dalam tidur nanti aku akan mengunjungi Nguyen Tinh lewat telepati untuk memintanya mengajariku mantera pengusir Nangnak. Kamu teruskan makan sendirian ya, Don..." Aku langsung mengambil tisue, mengelap wajah, dan berdiri. RAmli terbengong. Pasti ia terkagum kagum akibat omonganku tadi. Telepati lewat mimpi... Hahaha... emang ada ? tawaku dalam hati.

Aku tidur gelisah. Nasibku sudah dipastikan; nanti malam harus berhadapan dengan Kunti. Dulu, saat diajak Nguyen Tink ke Sungai Mekong, kami  masuk ke sebuah gua, di dalam gua kami harus menunggu malam bersama beberapa turis lainnya. Pas jam 8 keluar sesosok bayangan berambut awutan awutan dengan wajah seram dan berpakain putih yang sudah kumal kayak anak gembel ingusan  bertubuh dewasa. Nangnak terbang kesana sini, menyambar kami berkali kali. Nguyen Tinh membaca mantera, manteranya berbahasa Thai. Aku sama sekali tak tahu artinya. Nguyen Tink berkomunikasi dengan Nangnak, lagi lagi dalam bahasa Thai. Nangnak menangis, menceritakan riwayatnya yang persis seperti film Nangnak. Aku ikut berduka atas nasibnya. Setelah bercerita, Nguyen Tinh membaca mantera lagi. Nangnak menghilang dari hadapan kami. Apakah itu Nangnak asli? Aku tak tahu sama sekali. Teknik pembuatan film semakin lama semakin canggih. Di film Crouching Tiger Hiden Dragon, Chou Jen Fa bisa berdiri diatas daun lalang. Jika Chou Jen Fa bisa, apa bedanya dia dengan Nangnak di Sungai Mekong? Jangan jangan, yang dilokasi pabrik itu bukan Kunti Asli, melainkan Chou Jen Fa yang sedang shooting film Kunti From Borneo atas orang upahan pemilik pabrik minyak sawit yang selama ini membeli biji sawit Ramli, yang tak mau pabriknya mendapat saingan !

 Aku merasa pintar bisa tiba pada kesimpulan demikian. Hatiku membesar. Bajuku terasa sesak oleh rasa bangga. Pasti demikian. Kunti itu manusia, bukan Kunti sesungguhnya. Oke, nanti malam aku akan membongkar persekongkolan terbesar di Sentang !

Jam 5 aku berjalan jalan di halaman, menghitung jumlah truk. Semalam ada 11. Kenapa hari ini ada 13 ? Apa tidak semua truk pulang kandang setiap sore ?

" Jo, kamu bisa menyetir, kan ?" tanya Ramli yang muncul tiba tiba di belakangku kayak roh halus. Aku sudah yakin Kunti itu palsu, suara Ramli tidak membuatku keder.

" Sejak umur 18 aku sudah punya Sim komplit ABCD. " ucapku menyombongkan diri. Benarkah ada Sim ABCD? Nanti kugoogling jika kebetulan membuka laptop. Umur 18 yang kuurus itu hanya Sim C. waktu itu aku masih miskin. Tidak punya uang untuk membayar pelicin, akibatnya 3 kali tes baru aku lulus dan mendapat sim C.

" Nanti malam kamu berangkat bersama Arifin. Aku tak bisa ikut berhubung harus rapat konsolidasi dengan para pemegang saham yang ikut serta dalam pembangunan kilang. Setelah kamu mengusir Kunti itu, kami akan mengirim traktor untuk meratakan tanah disana."

Dasar Ramli ! Kenapa begitu tak sabaran. Apa ia yakin segalanya berjalan sesuai rencana ? Apa dia juga sepintar aku, menebak ulah Kunti itu adalah terror yang dilakukan pemilik pabrik sawit  yang selama ini membeli biji sawitnya ? Aku malas membantah. Kuiyakan saja biar segalanya cepat beres. Aku pergi mandi, lalu duduk menunggu dipanggil untuk makan malam. Aku pasti tak mau berangkat dengan perut lapar.

Saat aku makan, Ramli sibuk diluar bersama pekerja entah membicarakan apa. Aku sudah disuruh berangkat bersama Ifin, jadi tak perlu menunggunya makan bareng. Saat aku sedang makan, instingku  memberi isyarat kalau seseorang sedang menatapku secara diam diam. Tidak ada siapa siapa di dapur, namun instingku tetap memberiku sinyal positif. Saat aku membawa piring kotor ke tempat cucian, barulah aku tahu yang sedang menatapku itu Ken, si pembantu S-3, yang sampai saat ini aku masih tak yakin ada sarjana S-1 yang bersedia jadi pembantu. Tika pasti ngibul.

" Pak Jo.... Hati hatilah. " kata Ken dengan sikap gelisah.

Aku mendelik. Ken menguatirkanku ? Kenapa ? Apa ia mendapat firasat buruk aku akan   celaka malam ini ?

" Terima kasih atas perhatianmu, Ken." Kataku tulus.

Ken tampak gugup. Tangannya meremas ujung bajunya yang berwarna hitam. Aneh, biasanya ia memakai pakaian warna warni, kenapa malam ini berbaju hitam dan bercelana pendek hitam bergaris kuning ?

" Ken punya jimat anti bala, maukah pak Jo memakainya ?"

Aku mendelik lagi. Jimat anti-bala ? Apa di zaman semodren ini jimat anti-bala masih diperlukan?. Namun, berhubung tawaran itu datangnya dari pembantu berstatus S-3, kuanggukkan kepala. Ngapain menyinggung perasaannya? Toch Ken hanya ingin menunjukkan kebaikan hatinya. Ken mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, menyodorkan padaku. Benda itu kain  berwarna hitam dengan 3 garis guning, dijahit dengan benang putih, kontras sekali. Isinya entah apa, bentuknya mirip bantal. Kuterima jimat itu dan kukantongi sambil mengucapkan terima kasih pada Ken.

Aku keluar ke halaman. Ramli melihatku, langsung menyodorkan kunci. " Tuh, pak Arifin sudah menunggumu."

Aku tak menyangka Arifin datang kemari, kukira aku harus menjemputnya. Aku mengangguk hormat pada Ifin, dan mengajaknya berangkat.  Ifin membawa beberapa penerangan, mulai dari senter hingga lampu emergensi. Setelah mobil berjalan 10 menit, Ifin masih diam saja. Aku tak tahan dan bertanya.

" Pak Ifin sebelum ini pernah mengusir Kunti ?"

" Belum pernah."

Aku tercekat. Padahal aku ingin mengandalkannya. Namun, untuk apa dipikir panjang.? Toch aku yakin 100% Kunti itu teror yang dilakukan pemilik pabrik sawit langganan Ramli.

" Kenapa berani ikut ?" tanyaku.

" Segan sama pak Ramli, hehehe..."

Aku ikut tertawa. Betul tebakanku. Ifin ini hanya orang biasa, bukan dukun, dan ia ikut karena mata pencahariannya berkemungkinan bergantung pada pabrik yang akan didirikan Ramli. Sepanjang jalan kutanyai Ifin, tentang kehidupannya, pekerjaannya, penghasilannya, keluarganya, dan harapan akan masa depan. Semua dijawab lancar oleh Ifin plus senyum lebar di wajahnya.

Kami tiba di lokasi pabrik sekitar jam 8. Gelap gulita. Untung Ifin membawa banyak lampu, pertama tama ia menyalakan senter, mencari ranting kayu, membuat api untuk menghemat baterai. Aku bertanya dimana tempat pekerja pernah diganggu si Kunti. Keberanianku timbul akibat aku yakin ini teror bisnis, bukan gangguan kunti sungguhan.  Ifin mengatakan tanah itu telah ditebas hingga setengah dari keseluruhan lahan. Ia mematikan senter, menyalakan lampu emergensi, membawaku ke tengah lahan, Semakin lama  kami masuk semakin dalam, dan rumputnya yang ditebas telah tumbuh lagi. Tapi sampai ditengah lahan, semaknya benar benar lebat, ada sebuah gundukan semak yang besar, mirip sarang gorrilla.

Ifin mengumpulkan ranting untuk membuat  api unggun. Api menyala lancar.  Seketika gundukan itu terlihat terang benderang. Aku mengamati gundukan itu. Itu pasti bangunan tua yang diceritakan Ramli, yang diyakini sebagai sarang Kunti.

Mulutku komat kamit, pura pura membaca mantera agar Ifin yakin aku benar benar Kunti-buster ( istilah ini kuciptakan untuk tandingan Ghostbuster, judul film). Sebuah bayangan putih muncul dari belakang semak semak, berbaju putih, berambut kusut mirip ijut kotor akibat menyapu jalanan sehabis pesta tahun baru. Wajah sosok itu tidak kelihatan. Rambut menutupi wajahnya, tapi setelah kupandang dengan teliti, ternyata itu bukan wajah, melainkan bagian belakang kepala yang ditumbuhi rambut. Berarti Kunti gadungan itu enggan bertatap muka denganku, mungkin takut penyamarannya kubongkar.

Aku kurus kerempeng, sementara tubuh kunti itu terlihat menggembung. Walau Kunti selalu berjenis kelamin wanita, jelas aku bukan tandingan wanita bertubuh gempal. Apalagi malam malam, ngapain berkeringat setelah mandi? Okelah, Ramli pasti butuh bukti. Kuhidupkan hape dan memasang fungsi rekam video, setelah itu aku menyodorkan hape kepada Ifin dan menyuruhnya merekam apa yang akan kulakukan.  Ifin ternyata tidak gaptek. Ia langsung merekam layaknya kameramen profesional.

Aku mendekati gundukan. Kunti gadungan itu tetap enggan menatapku, wajahnya tetap menatap ke belakang, yang arahnya pasti ke sungai yang entah bernama apa.

" Hei, Kunti ! apa sih maumu mengganggu pekerja pekerja yang membabat rumput disini ? " teriakku keras, supaya terekam jelas oleh Ifin.

Kepala Kunti itu digerakkan ke kiri dan kekanan dengan lambat, tidak mirip menggeleng.

" Aku utusan yang dikirim pemilik lahan ini untuk bernego denganmu. Pemilik tanah  ingin membangun kilang di tanah ini. Tanah ini telah dibeli dengan mahal. Tolong jangan ganggu pekerja yang sedang bekerja, sebagai imbalan, kamu boleh mangajukan permintaan apa saja sebagai kompensasinya."

Bersambung. Apa permintaan Kunti itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun