Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Penulis - Hanya orang biasa

Hidup ini indah kalau kita bisa menikmatinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Malam Pertama Part Two (17+)

28 Februari 2014   18:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325173" align="aligncenter" width="150" caption="Bunga Kana, Kol. Pri."][/caption]

Jam 11, satu persatu tamu mulai permisi.  Jam 11.30 rombongan Atex ikut permisi. Jam 12 perjamuan usai. Kobastian membantu membenahi pirang mangkok kotor bersama saudara-saudara Reya. Tamu yang belum pulang ikut membantu.

Bahu Kobastian ditepuk dari belakang oleh nyonya Lie ketika ia sedang mengangkat piring kotot ke dapur. “ Tian, sudah malam. Biarkan yang lain bekerja. Kamu beristirahatlah…”

“ Oh… “ Guman Kobastian seperti orang bodoh. Ia menghentikan pekerjaan. Ia duduk bersama nenek Reya di meja belakang. Nyonya Lie mendekati Kobastian lagi.

“ Tian, istirahatmu bukan disini. Kamu harus beristriahat di kamar bersama Reya.” Ucap nyonya Lie. Nenek Reya terkekeh.

“ Di kamar Reya ?” tanya Kobastian.

“ Ya, kalian sudah suami istri. Harus sekamar.”

Kali ini jantung Kobastian berdegup kencang. Tangannya gemetaran. Tubuhnya terasa kejang kejang seakan akan terkena demam. Ia disuruh sekamar dengan Reya ? Apakah ia tak salah dengar ?

“ Baiklah, “ jawab kobastian pendek, takut kalau menjawab terlalu panjang terdengar gagap. Ia melangkah ke ruang tamu. Tuan Lie masih merokok di Beranda. Kobastian menundukkan kepala langsung berjalan ke kamar Reya. Ia mendorong pintu pelan pelan. Dikiranya di dalam kamar masih terdapat teman teman Reya. Ternyata kamar Reya sudah kosong, hanya ada Reya, yang lain sudah pulang. Reya berbaring di kamar, masih belum tidur, masih mengenakan gaun pengantin. Tatapannya kosong. Kobastian bingung. Harus berbuat apa ia di kamar ini bersama Reya. Apakah saling menatap hingga pagi ?

Kobastian membuka kemejanya.  Kemeja membuatnya gerah. Ia ingin memakai singlet. Tapi… Ia lupa membawa pakaiannya kemari. Tadi sore ia mandi tanpa berganti pakaian. Kemejanya sudah dibuka.  Ia masih memegang kemeja ketika pintu kamar diketuk seseorang. Kobastian membuka pintu. Ternyata nyonya Lie.

“ Eh, aku lupa mengingatkan. Spreinya dialasi handuk ya, Tian…” kata Nyonya Lie dengan sikap segan- segan plus malu malu.

“ Kenapa harus dialas handuk, mama mertua ?” tanya Kobastian tak mengerti.

“ Aku takut besok teman teman Reya datang. Mereka akan mengetawai Reya andai melihat di sprei kalian ada  noda darah…” Nyonya Lie semakin kaku, semakin malu malu.

“ Mama mertua tak usah kuatir. Aku takkan melukai Reya, Mama Mertua. Seumur hidup aku takkan melukainya. Aku akan menuruti semua kehendaknya. “ ucap Kobastian dengan nada teguh.

“ Aku percaya padamu, tapi tolong turuti nasehatku. Pasang handuk di sprey ya… aku tidak menggangu lagi. Semoga besok pagi Reya sudah bisa memanggilku mama.” Kata nyonya Lie dengan penuh harap, merapatkan pintu, meninggalkan Kobastian yang masih terbengong sambil memegang kemejanya.

Kobastian meletakkan kemeja di gantungan baju. Ia berjalan ke ranjang. Langkahnya terasa berat. Jantungnya berdebar kencang. Inikah syindrom malam pengantin? Kenapa ia merasa berdebar debar ? Apakah semua pengantin ketakutan di malam pengantin mereka ?

Ia sudah tiba di samping Reya. Mata Reya terpejam. Apakah Reya sudah tidur ? Kenapa Reya tidur sambil mengenakan gaun pengantin? Gaun pengantin dibeli dengan harga mahal. Alangkah sayangnya dipakai buat tidur.  Kalau kusut pasti sulit merapikan kembali. Kobastian tertegun menatap Reya. Ia duduk disamping Reya. Ia duduk di samping ranjang tanpa menyentuh Reya. Reya terlihat cantik sekali. Kulitnya putih. Wajahnya mulus. Bulu matanya lentik. Bibirnya sensual…

“ Apa yang harus kulakukan? Membuka bajunya ?” tanya Kobastian pada dirinya sendiri.  “ Pasti ! Baju harus dibuka duluan, setelah itu… ah, nanti baru kupikirkan apa yang ingin kulakukan selanjutnya. Yang penting buka baju pengantin duluan…” Ia mengulurkan tangannya.

Jantungnya berdebar semakin kencang. Persis kayak ia memompa air di kapal pada saat hujan lebat di tengah lautan. Kalau tidak dipompa secepatnya, kapalnya pasti tenggelam. Kecepatan tangannya harus lebih cepat dari serbuan hujan. Tapi, di saat ini, tangannya tidak bekerja sama sekali. Jantungnya berpacu kencang, sedangkan tangannya tidak mau bekerja seperti otaknya rusak sebelah kanan, ia kehilangan kontrol terhadap gerakan tangannya. Tangannya begitu gemetaran sehingga ketika ia memegang kancing pertama, kancing itu hampir putus tertarik getaran tangannya.

“ Reya… kuminta izin membuka bajumu…”

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun