Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

BKT: Cklak, Pistol Terkokang

25 Mei 2021   14:26 Diperbarui: 25 Mei 2021   14:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

DC memerhatikan setelah bersama 3 sore ia hapal kebiasan Belani. Datang 4.30, selalu menatap ke arus kanal, tidak mau pergi hingga jam 6 sore, seakan sedang menunggu buaya muncul di permukaan air.

" Ke mana-mana dikawal selama 9 bulan. Bahkan kalau aku ingin keluar bersama orangtuaku, selalu dilarang, diminta menunggu dia pulang." Omongan Belani mirip menggerutu.

" Kamu pasti tertekan selama 9 bulan. Bagaimana setelah Elia lahir ?" tanya DC.

Belani tidak menjawab. Dia seakan tahu sudah jam 6. Kontan ia berjalan menuju seberang dan masuk ke warteg. Hari ini ia memesan sambal tempe teri dan gulai telor. DC ikut memesan makanan yang sama.

Setelah makan, keduanya kembali ke atas jembatan. Kembali Belani menatap ke arus kanal. Di atas jembatan ada lampu penerangan jalan. Air kanal terlihat jelas walau ketinggian jembatan 5 meter  dari permukaan kanal.

" Dia memanjakanku setelah aku melahirkan anak perempuan. Mertuaku datang. Nyinyir tak karuan melihat rumah kami, mengatakan rumah kami tidak diurus dengan baik. Norak dan berantakan. Tidak estetika. Tidak itu, tidak ini. Pokoknya semua serba salah. Aku tak senang orangtuaku dihina." Wajah Belani berubah muram.

DC merasa ini awal petaka. Perbedaan klas sosial membuat mertua tidak menghargai menantu dan keluarga menantu. Adnan pasti serba salah kalau harus memihak.

" Mertuaku ingin mengajakku tinggal bersamanya. Tentu aku menolak. Karena, kalau aku ikut mertua, orangtuaku harus kembali ke gang, pasti dihina oleh tetangga-tetangga mereka. Aku ingin membahagiakan orangtuaku, bukan ingin mereka dihina." Mata Belani mulai berair. DC menyodorkan tisue, setelah itu ikut menatap ke kanal. Ia semakin paham awal petaka keluarga Belani.

" Apa Adnan ikut memaksamu?" tanya DC dengan nada bersimpati.

Belani menggeleng. " Dia bilang lebih praktis dia tinggal di HI, dekat dengan tempat kerja. Ibunya marah besar. " Belani terdiam sambil menghapus airmatanya.

" Apa mertuamu mengusir keluargamu ?"

" Nyaris," Belani semakin terisak. " Setiap datang orangtuaku dihina. Dikatai orang kampung. Tak pandai merawat cucu, tak tahu makanan bergizi, tak pandai menjaga kebersihan. "

" Adnan tidak membelamu ?" tanya DC.

" Dia malah keluar setiap ibunya datang." Belani menyeka airmata dengan tisue, " Membiarkan aku  menghadapi ibunya sendirian, apakah itu sikap pria bertanggung jawab?" Belani menoleh untuk menatap DC, hanya sejenak, lalu kembali menatap ke arus kanal dengan tatapan kosong.

DC menggeleng cepat. Ia tahu posisi Adnan terjepit, tapi ia tak mungkin membela Adnan di hadapan Belani. Nanti dinilai memihak. Ia merasa kasihan pada Belani. Sendirian menghadapi mertua yang mulutnya judes pasti sangat tidak menyenangkan.

" Apa yang terjadi selanjutnya ?" tanya DC.

Belani masih memandang arus kanal. Lama sekali tidak menjawab pertanyaan DC. DC ikut menatap ke depan. Samar-samar ia mendengar dengung halus. Sebuah speedboat melaju dari hilir menuju hulu. DC teringat Zee. Ia pernah ke hulu, juga ke hilir bersama Zee. Apakah selain Zee ada speedboat lain yang melarung di kanal ini ? Kalau ada, milik siapa ? Setahunya, harga sebuah speedboat ratusan juta. Tak mungkin dimiliki sembarang pengusaha.

" Airnya akan bergelombang." Cetus Belani tiba tiba. DC menoleh untuk menatap wajah Belani. Saat itulah speedboat itu lewat di bawahnya.

" Kamu suka melihat air yang tenang?" tanya DC.

Belani mengangguk, lalu balik badan,  langsung berjalan ke ujung jembatan.

DC tidak menegur. Ia tahu pertemuan malam ini sudah berakhir. Ia mematikan  fungsi rekam. Ditatapnya wajah Belani yang tadi dipotret secara diam diam. Wajah itu begitu sendu. Dewi Not pasti terharu melihat wajah Belani. Ia merenungkan cerita yang didengarnya tadi. Kebahagiaan yang seharusnya dinikmati Belani dan keluarganya hancur berantakan gara-gara kedatangan orang tua Adnan. Bagaimana nasib Elia? Apa dia dibawa neneknya ke Jakarta? Apa gara-gara Elia dibawa mertuanya makanya setiap malam Belani menunggu anaknya di atas jembatan ? Di jembatan inikah Belani berpisah dengan anaknya ?

DC berlalu dari jembatan. Ia menyetir pelan-pelan menuju rumahnya. Dari jembatan menuju rumahnya hanya 10 menit. Ia tiba sekitar jam 9.50 menit. Ia memarkir mobilnya di garasi, berjalan ke pintu sambil memikirkan nasib Belani. Saat ia ingin memasukkan kunci ke lubang, terdengar suara cklak!

DC tak berani bergerak. Ia pernah ditodong dengan pistol di depan rumahnya. Apa Karista kembali direkrut seseorang untuk membunuhnya? Apa Paramesti kembali ingin membunuhnya, atau Tiara Kencana kembali dari Malaysia? Suara yang didengarnya itu pasti suara pistol yang dikokang.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun