Sebelum jam 12, Awai membereskan semua piring gelas kotor agar saat Tiong It datang ia bisa menemani Tiong It .
" Semalam aku ketemu Joyah di Rumah Hantu. Kamu ingat pembantu makcik Yo yang bernama Joyah?" tanya Awai pada Tiong It.
Tiong It mengangguk. " Rumah Hantu yang mana ?" Tiong It memakan sesuap pesanannnya.
" Itu tuh, rumah di ujung jalan Rumbia, yang pernah ada orang bunuh diri." Cerita Awai bersemangat.
" Oh, itu. Rumah makcik Soraya Hanifa. Kenapa Joyah bisa tinggal di rumah itu ?" tanya Tiong It.
" Kamu kenal pemilik rumah itu ? " tanya Awai.
Lagi lagi Tiong It mengangguk. " Kenapa Joyah bisa ke rumah itu ? " ulang Tiong It.
" Makcik Yo membeli rumah itu. Katanya harganya murah. Joyah disuruh memasak di rumah itu agar tak perlu menyewa lagi. Joyah ketakutan setelah kuberitahu di rumah itu pernah ada yang bunuh diri." Cerita Awai.
" Bagus juga kalau makcik Yo yang membeli rumah itu. Aku pernah bertemu roh makcik Soraya." Ucap Tiong It kalem. Ia teringat kenangan kala ia mencari setangkai bunga mawar untuk dipersembahkan pada Awai.
" Bohong. Kamu pasti membual. Mana mungkin manusia bertemu roh orang yang sudah mati 2 tahun yang lalu."
" Sungguh. " Ekspresi Tiong It minta dipercaya. "Aku pernah bertemu roh makcik Ros. " Tiong It teringat ucapan Soraya Hanifa. Sesuatu yang sulit di dapat, kalau didapat, akan lebih dihargai. Tiong It menceritakan apa yang dialaminya.Â