Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Namaku Awai 225-226

7 Juli 2018   06:39 Diperbarui: 7 Juli 2018   08:39 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Kamu didorong ibumu ke laut, tenggelam selama 2 jam. Aku sudah nyaris putus asa. Ya Tuhan ! Syukurlah, Tuhan telah mengembalikan Awaiku dalam keadaan selamat !" seru Tiong It sangking gembira.

" Apa ? Aku tenggelam selama 2 jam ?" Awai berusaha bangkit. Bajunya basah semua, dan ia merasa kedinginan.

" Betul, kamu tenggelam selama 2 jam. Kamu disandera Hantu Laut. Entah kenapa kemudian Hantu Laut mengembalikan padaku, "

Awai menatap seluruh tubuhnya. Masa sih ia tenggelam selama 2 jam masih hidup? Tenggelam 10 menit saja perutnya buncit mirip ikan buntal. Tiong It mengatakan dia disandera Hantu Laut? Benarkah di laut ada hantu Laut ? Ia bergidik. Ia teringat omongan Tok Samat. Ayahnya menabrak Hantu Jambut Berbulu, akibatnya mati sebelah. Ia disandera Hantu Laut, apakah ia ikut mati sebelah ? Awai melompat untuk berdiri. Ia limbung hingga hampir terjengkang ke laut. Untung Tiong It siaga dan menyangga tubuhnya.

Awai memegang kepalanya. Agak pening, tapi ia melihat hari sudah nyaris gelap. " Aku harus pulang." Ia meronta dari dekapan Tiong It. Embernya masih tergeletak di dermaga. Ia memungut dan membawa ke kedai kopi.

Kedai kopi sudah tutup. Awai menyimpan ember ke tong kosong penjual sayur. Ia naik sepedanya pulang tanpa menghiraukan Tiong It yang mengekorinya entah sampai dimana.

Tukang Kepiting garuk garuk kepala melihat Awai kembali dalam keadaan hidup. Ia mengucekmatanya hingga sakit, tapi yang dilihatnya tetap Awai, bukan roh gentayangan.

Tiba di rumah hari sudah gelap. Awai masuk lewat pintu belakang. Bajunya hampir kering. Ia masuk ke kamar mandi. Saat masuk ke rumah, ia dihadang oleh ibunya. Ibunya menatapnya dengan sikap curiga.

" Tak jadi mati, kamu !"

" Teganya mama mendorong Awai ke laut. Kalau mama ingin Awai mati, Awai akan mati dengan sukarela di hadapan mama..." Awai menjatuhkan dirinya, bersujud di depan ibunya.

Huina bukan terhibur mendengar omongan anaknya, malah memaki " Keparat, melawan lagi !" Kaki Huina menyepak. Awai terpelanting. Kepalanya membentur pintu. Rasa sakitnya tak terkira. Pelan pelan kesadaran Awai menghilang.

Huina terbengong. Ia tak menyangka tendangannya bisa membuat Awai terpelanting. Ia berseru memanggil Akun. Akun tiba. Heran melihat Awai tertelungkup di pintu.

" Periksa kakakmu apakah masih hidup atau sudah mati ! Kalau mati, kuburkan di belakang kebun,"

" Mama memukul Awai ?!" Akun menubruk Awai, menaruh jari telunjuk di hidung Awai, ada hembusan nafas halus. Ia segera memondong tubuh Awai ke kamar. Ia membaringkan tubuh Awai ke ranjang.

Tan Suki kaget melihat Akun masuk sambil memondong Awai. Ia berusaha bangun. Ia meraba nadi Awai. Nadi Awai masih berdenyut.

" Dipukul mama hingga pingsan, mama semakin lama semakin kejam terhadap kami !" adu Akun sebal.

Mata Tan Suki berkaca-kaca. Ia menyesal terkena penyakit mati sebelah. Seandainya ia masih sehat, Huina tak mungkin berubah sekejam ini terhadap anak anak. Dulu, saat ia masih sehat, Huina hanya berani memarahi, tak berani memukul. Kini... ia sakit mati sebelah... ia tak bisa mencegah istrinya memukuli anak anaknya. Dadanya terasa sakit... sakit tak terkira. Ia meraih kertas dan menulis.

Pergi tanya tabib apa obat untuk orang pingsan.

Akun membaca tulisan itu, segera menyambar sepeda dan melaju menuju ke kota. Ia berutang sebungkus obat dari toko obat. Ia berjanji akan membayar jika sudah punya uang nanti. Pemilik Toko Obat ternyata baik. Ia meresepkan sebungkus obat untuk Awai agar cepat siuman dari pingsan tanpa meminta bayaran.

Awai terbangun sambil merintih. Didapati ia sedang berbaring di kamar, ayahnya dan Akun sedang menatapnya.

" Apa yang terjadi?" tanya Awai.

" Kamu pingsan dipukul mama, " jawab Akun.

" Oh, sukurlah, ternyata aku masih hidup. Aku takut kalau aku mati tak ada yang merawat papa." Desah Awai.

Tan Suki memeluk anaknya, menangis tanpa suara. Airmatanya membasahi baju anaknya.

Novel ini sudah dicetak. Pancalogi Awai bisa dipesan lewat sms/wa 0856 1273 592

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun